Satu setengah tahun tak mengunjungi stasiun
tugu ternyata banyak perubahan yang terjadi didalamnya. Namun, diantara
perubahan tersebut, rasanya permasalahan yang ada sebelumnya masih belum dapat
diselesaikan, khususnya perihal penataan ruang dan ‘sirkulasi’ dalam kawasan
stasiun sendiri. Berikut saya rangkum beberapa hal yang berkelebat dalam kepala
saya dalam perjalanan yang tak lebih dari satu setengah jam.
Jalan Pasar
Kembang
Memasuki kota Yogyakarta pertama kali saat
dulu ditemani orang tua ketika registrasi, kami tentu sangat akrab dengan jalan
Pasar Kembang. Konon jalan ini adalah ‘pemandangan pertama’ yang terlihat
ketika anda masuk dan keluar Kota Yogyakarta via Stasiun Tugu. Sederhananya,
Jalan Pasar Kembang adalah salah satu gerbang masuk Jogja. Ditambah pula dengan
lokasinya yang persis di pusat kota, berpotongan dengan Jalan Malioboro yang
‘katanya’ sumbu utama perkembangan kota Yogyakarta dan cukup fenomenal. Yah,
sejujurnya Jalan Pasar Kembang membentuk kesan pertama yang sangat buruk dikepala
saya mengenai Kota Yogyakarta. Kondisi jalan yang sangat kumuh tercermin di
sepanjang Jalan Pasar Kembang (bahkan juga di Jalan Malioboro). Pedestrian yang
sempit seringkali digunakan untuk cuci motor oleh pemilik toko yang ada di
kanan kiri jalan. Banyak juga ditemukan pedagang kaki lima, atau bapak-bapak
sekedar MAIN CATUR di pelataran toko tepatnya di jalur pejalan kaki *sumpah
yang ini random tapi bener-bener ada di sarkem*. Belum lagi parkir on street
yang disini rasa-rasanya sangat mengganggu. Ada juga tukang becak yang kadang
parkir sembarangan di badan Jalan. Kalau boleh saya menilai subjektif, Jalan
Pasar Kembang persis gambaran negara berkembang yang seringkali diperlihatkan
di film action buatan Hollywood. Semrawut dan hiruk pikuk. Dan hari ini,
setelah tiga tahun menetap di Kota Yogyakarta kondisi yang persis sama masih
saya lihat di sepanjang jalan.
Reservasi Tiket
Jika tujuan anda adalah reservasi tiket,
sementara anda memasuki stasiun melalui pintu timur (Jalan Mangkubumi yang
memang pintu utama) maka mohon maaf anda akan sangat disulitkan. Silakan
memutar keluar dari kawasan stasiun, menyusuri Jalan Pasar Kembang, dan masuk
lewat pintu selatan. Maaf pula karena untuk itu Kota Jogja masih belum
menyediakan pedestrian yang layak yang artinya anda harus berjalan nyempil di antara
gerobak pedagang kaki lima yang banyak di trotoar atau berjalan di badan jalan
dengan ancaman tertabrak sepeda motor atau mobil yang lewat. Hal ini yang saya
rasa cukup mengganggu. Memang seharusnya disediakan ‘jalur dalam’ di stasiun
yang menghubungkan pintu timur dengan pusat reservasi sebagai alternative bagi
pengunjung yang memang masuk melalui pintu timur. Hal ini mengindikasikan belum
adanya ‘alternatif’ atau pilihan dalam desain stasiun tugu.
Kemudian yang cukup mengganggu adalah jumlah
antrian di reservasi yang selalu membludak. Hal ini menyebabkan lama waktu
mengantri yang panjang sehingga produktivitas masyarakat berkurang. Sebenarnya
ada banyak cara yang bisa digunakan dalam reservasi tiket. Selain langsung
datang ke pusat reservasi, anda bisa membeli tiket di berbagai partner PT KAI
seperti Alfamart, Indomaret, PT Post Indonesia, atau langsung hubungi 121 atau
021-121 untuk GSM atau CDMA. Anda dapat melakukan transaksi yang cepat dan tanpa
antrian hanya dengan membayar charge sebesar tujuh ribu lima ratus rupiah.
Harga ini rasanya sangat membantu dibandingkan waktu mengantri selama dua jam
penuh. Di pusat reservasipun hal ini bukan tidak diinformasikan. Beberapa
banner yang isinya informasi terkait ‘cara lain mendapatkan tiket yang legal
dan tanpa calo’ sudah terlihat. Dan saya rasa memang masyarakat yang kurang
peka dan malas membaca banner yang ada. Padahal tepat didepan pusat reservasi
ada satu indomaret yang beroperasi. Mestinya informasi terkait dapat diberikan
melalui satpam atau beberapa petugas yang bekerja di pusat reservasi. Agar
masyarakat lebih tanggap dan antrian dapat dikurangi. Selain itu signage yang bertuliskan “bisa reservasi
disini” dalam ukuran besar sepertinya sangat dibutuhkan mengingat kepekaan
masyarakat yang masih rendah untuk sekedar membaca ‘banner’. Hal ini
rasa-rasanya sangat penting untuk diperhatikan.
Berjalan dari pusat reservasi memasuki bagian
dalam stasiun saya disuguhi hal baru dimana ternyata untuk masuk ke stasiun
pengunjung harus melewati ‘jembatan bawah tanah’. Entah untuk tujuan apa.
Mungkin memaksimalkan pintu masuk yang lama sebagai area komersil atau
semacamnya? Entahlah. Tapi rasa-rasanya tidak terlalu vital memang. Cuma
lumayanlah sedikit mengingatkan pada atmosfer MRT Station di Singapura. Bedanya
yang ini jauh lebih kumuh dan ubinnya menyerupai kamar mandi. -,- Lebih
mengingatkan ke pintu masuk museum bawah monas sih. J
Manajemen dan
Teknologi
Berkaca dari keberhasilan Singapura,
Singapura mempunyai stasiun MRT yang berfungsi vital dan diakses masyarakat
setiap hari bahkan lebih dari sekali setiap hari. Namun, tak pernah dijumpai
antrian reservasi, dan beberapa permasalahan lain seperti jalur akses yang
harus berputar putar layaknya stasiun tugu. Memang, kegagalan stasiun tugu
berada pada manajemen stasiun dan penggunaan teknologi yang sangat membantu
proses reservasi tiket. Namun menurut saya, reservasi manualpun pada dasarnya
tak terlalu bermasalah mengingat stasiun tugu tak digunakan orang setiap hari
sebagaimana MRT Station. Belum lagi jumlah penggunanya yang tidak sebanyak
pengguna MRT Station. Dengan jumlah konsumen yang lebih sedikit dan frekuensi
penggunaan kereta api yang juga lebih sedikit, seharusnya KAI mampu melayani
dengan lebih baik dan lebih lancar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar