Senin, September 24, 2012

Jogjakarta


Satu setengah tahun tak mengunjungi stasiun tugu ternyata banyak perubahan yang terjadi didalamnya. Namun, diantara perubahan tersebut, rasanya permasalahan yang ada sebelumnya masih belum dapat diselesaikan, khususnya perihal penataan ruang dan ‘sirkulasi’ dalam kawasan stasiun sendiri. Berikut saya rangkum beberapa hal yang berkelebat dalam kepala saya dalam perjalanan yang tak lebih dari satu setengah jam.

Jalan Pasar Kembang

Memasuki kota Yogyakarta pertama kali saat dulu ditemani orang tua ketika registrasi, kami tentu sangat akrab dengan jalan Pasar Kembang. Konon jalan ini adalah ‘pemandangan pertama’ yang terlihat ketika anda masuk dan keluar Kota Yogyakarta via Stasiun Tugu. Sederhananya, Jalan Pasar Kembang adalah salah satu gerbang masuk Jogja. Ditambah pula dengan lokasinya yang persis di pusat kota, berpotongan dengan Jalan Malioboro yang ‘katanya’ sumbu utama perkembangan kota Yogyakarta dan cukup fenomenal. Yah, sejujurnya Jalan Pasar Kembang membentuk kesan pertama yang sangat buruk dikepala saya mengenai Kota Yogyakarta. Kondisi jalan yang sangat kumuh tercermin di sepanjang Jalan Pasar Kembang (bahkan juga di Jalan Malioboro). Pedestrian yang sempit seringkali digunakan untuk cuci motor oleh pemilik toko yang ada di kanan kiri jalan. Banyak juga ditemukan pedagang kaki lima, atau bapak-bapak sekedar MAIN CATUR di pelataran toko tepatnya di jalur pejalan kaki *sumpah yang ini random tapi bener-bener ada di sarkem*. Belum lagi parkir on street yang disini rasa-rasanya sangat mengganggu. Ada juga tukang becak yang kadang parkir sembarangan di badan Jalan. Kalau boleh saya menilai subjektif, Jalan Pasar Kembang persis gambaran negara berkembang yang seringkali diperlihatkan di film action buatan Hollywood. Semrawut dan hiruk pikuk. Dan hari ini, setelah tiga tahun menetap di Kota Yogyakarta kondisi yang persis sama masih saya lihat di sepanjang jalan.

Reservasi Tiket

Jika tujuan anda adalah reservasi tiket, sementara anda memasuki stasiun melalui pintu timur (Jalan Mangkubumi yang memang pintu utama) maka mohon maaf anda akan sangat disulitkan. Silakan memutar keluar dari kawasan stasiun, menyusuri Jalan Pasar Kembang, dan masuk lewat pintu selatan. Maaf pula karena untuk itu Kota Jogja masih belum menyediakan pedestrian yang layak yang artinya anda harus berjalan nyempil di antara gerobak pedagang kaki lima yang banyak di trotoar atau berjalan di badan jalan dengan ancaman tertabrak sepeda motor atau mobil yang lewat. Hal ini yang saya rasa cukup mengganggu. Memang seharusnya disediakan ‘jalur dalam’ di stasiun yang menghubungkan pintu timur dengan pusat reservasi sebagai alternative bagi pengunjung yang memang masuk melalui pintu timur. Hal ini mengindikasikan belum adanya ‘alternatif’ atau pilihan dalam desain stasiun tugu.

Kemudian yang cukup mengganggu adalah jumlah antrian di reservasi yang selalu membludak. Hal ini menyebabkan lama waktu mengantri yang panjang sehingga produktivitas masyarakat berkurang. Sebenarnya ada banyak cara yang bisa digunakan dalam reservasi tiket. Selain langsung datang ke pusat reservasi, anda bisa membeli tiket di berbagai partner PT KAI seperti Alfamart, Indomaret, PT Post Indonesia, atau langsung hubungi 121 atau 021-121 untuk GSM atau CDMA. Anda dapat melakukan transaksi yang cepat dan tanpa antrian hanya dengan membayar charge sebesar tujuh ribu lima ratus rupiah. Harga ini rasanya sangat membantu dibandingkan waktu mengantri selama dua jam penuh. Di pusat reservasipun hal ini bukan tidak diinformasikan. Beberapa banner yang isinya informasi terkait ‘cara lain mendapatkan tiket yang legal dan tanpa calo’ sudah terlihat. Dan saya rasa memang masyarakat yang kurang peka dan malas membaca banner yang ada. Padahal tepat didepan pusat reservasi ada satu indomaret yang beroperasi. Mestinya informasi terkait dapat diberikan melalui satpam atau beberapa petugas yang bekerja di pusat reservasi. Agar masyarakat lebih tanggap dan antrian dapat dikurangi. Selain itu signage yang bertuliskan “bisa reservasi disini” dalam ukuran besar sepertinya sangat dibutuhkan mengingat kepekaan masyarakat yang masih rendah untuk sekedar membaca ‘banner’. Hal ini rasa-rasanya sangat penting untuk diperhatikan.

Berjalan dari pusat reservasi memasuki bagian dalam stasiun saya disuguhi hal baru dimana ternyata untuk masuk ke stasiun pengunjung harus melewati ‘jembatan bawah tanah’. Entah untuk tujuan apa. Mungkin memaksimalkan pintu masuk yang lama sebagai area komersil atau semacamnya? Entahlah. Tapi rasa-rasanya tidak terlalu vital memang. Cuma lumayanlah sedikit mengingatkan pada atmosfer MRT Station di Singapura. Bedanya yang ini jauh lebih kumuh dan ubinnya menyerupai kamar mandi. -,- Lebih mengingatkan ke pintu masuk museum bawah monas sih. J

Manajemen dan Teknologi

Berkaca dari keberhasilan Singapura, Singapura mempunyai stasiun MRT yang berfungsi vital dan diakses masyarakat setiap hari bahkan lebih dari sekali setiap hari. Namun, tak pernah dijumpai antrian reservasi, dan beberapa permasalahan lain seperti jalur akses yang harus berputar putar layaknya stasiun tugu. Memang, kegagalan stasiun tugu berada pada manajemen stasiun dan penggunaan teknologi yang sangat membantu proses reservasi tiket. Namun menurut saya, reservasi manualpun pada dasarnya tak terlalu bermasalah mengingat stasiun tugu tak digunakan orang setiap hari sebagaimana MRT Station. Belum lagi jumlah penggunanya yang tidak sebanyak pengguna MRT Station. Dengan jumlah konsumen yang lebih sedikit dan frekuensi penggunaan kereta api yang juga lebih sedikit, seharusnya KAI mampu melayani dengan lebih baik dan lebih lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar