Social Economic crash bukan hal yang baru memang. Semakin lama kita mengkaji semakin banyak pula
kita akan menemukan benturan-benturan antara dua aspek ini. Salah satunya dalam
hal pengembangan pariwisata. Dari sisi ekonomi dan dengan sudut pandang
sosialis, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat ibarat ‘Ratu Adil’ yang
bawa kemakmuran bagi masyarakat kelas menengah kebawah dalam sebuah kawasan
wisata. Konsep ini selalu menjadi ‘primadona’ yang memang marak digaungkan oleh
aktivis pariwisata dan sudah mulai diterapkan di beberapa kawasan yang memang
diperuntukan bagi pengembangan pariwisata. Sebaliknya, resort selalu menjadi satu pihak yang dianggap memperkaya yang kaya
dan ‘merugikan’ masyarakat. Namun benarkah demikian?
Banyak sisi positif dari pengembangan
pariwisata berbasis masyarakat yang diutarakan para ahli. Diantaranya adalah
mempu meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat pula menjadi sebuah upaya
menjaga kelestarian budaya lokal. Pandangan ini yang seringkali melupakan aspek
lokalitas itu sendiri di kalangan masyarakat. Benarkah desa wisata lazimnya
mampu melestarikan budaya lokal lebih dari sekedar menjaga tarian atau
kerajinan lokal? Benarkah pengaruh yang didapat masyarakat desa wisata dari
luar jauh lebih kecil dibanding kelestarian budaya lokal sendiri? Well, hal ini
seringkali tidak berjalan dengan baik kan? Sebut saja night club di Bali yang
dewasa ini cukup banyak diramaikan penduduk lokal. Belum lagi cara berpakaian dan
pola pergaulan muda mudi yang cukup bebas. Senjang sekali dengan pola hidup masyarakat yang sama sekali
tak terjamah pariwisata di pulau ini. Sederhananya, pengembangan desa wisata
dengan konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat belum mampu menjaga
nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat.
Sebaliknya, resort dibangun dengan beragam fasilitas yang memungkinkan
pengunjung untuk mendapatkan fasilitas hiburan tanpa harus jauh keluar dari
kawasan resort itu sendiri. Beragam alternatif
hiburan membuat pengunjung cukup puas untuk berada hanya didalam resort. Apalagi pengelolaan resort yang sepenuhnya difasilitasi oleh
pengembang, hal ini membuat kemungkinan gesekan budaya antara masyarakat lokal
dengan pengembang menjadi lebih kecil. Kesimpulannya, pembangunan resort lebih mampu menjaga kelestarian
dan keaslian budaya masyarakat. Terdengar sangat kapitalis bukan?
Lalu bukankah sudah sifat dasar manusia untuk
selalu mengupayakan kesempurnaan? Bagaimana dengan jika kita lihat secara
keseluruhan tak hanya dari perspektif budaya melainkan juga perekonomian
masyarakat? Entahlah, yang jelas pembangunan berbasis masyarakat selalu punya
nilai lebih. Tentu saja dengan penyiapan masyarakat lokal terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar