Senin, September 24, 2012

Bersih Bersih Pemerintahan Bersih

Permasalahan korupsi atau manipulasi politik dan ekonomi memang bukan permasalahan baru dan bisa dikatakan sudah membudaya dalam darah Indonesia. Dimulai dari hal kecil seperti pendanaan penelitian mahasiswa hingga dalam skala besar berupa penyelewengan dana pembangunan oleh pihak yang berkuasa. Puluhan tahun bergelut dengan permasalahan yang sama ternyata tak membuat Indonesia mampu keluar dari jeratan korupsi. Belakangan korupsi malah seolah dilegalkan dengan dalih ‘fokus mengurusi negara ternyata tak memberikan penghidupan yang cukup bagi para pelaksana pembangunan’. Antara minta naik gaji dan melegalkan korupsi memang ternyata tak banyak berbeda. 

Semua orang tentu masih ingat polemik kekuasaan masa orde baru yang penuh dengan nuansa korupsi dan kediktatoran. Jengah dengan pemerintahan yang korup, massa bergerak bersama-sama bersatu menentang bahkan merobohkan kekuasaan yang berkuasa atas nama demokrasi. Alasannya kediktatoran presiden tidak memberi celah bagi masyarakat untuk bersuara. Tentu saja alasan ini jadi alasan tambahan disamping besarnya perasaan merugi masyarakat akibat pemerintahan orde baru yang terkesan memperkaya diri. Lantas satu pertanyaan besar yang membayangi kita kemudian adalah “Mampukah demokrasi menyajikan bentuk pemerintahan bersih kemudian?”

Pemilu 2009 yang dimenangkan telak oleh presiden Susilo Bambang Yodhoyono yang notabene ‘menjual’ slogan pemerintahan bersih tentu dapat melukiskan seberapa besar masyarakat Indonesia ‘haus’ akan pemerintahan yang tak lagi mengadopsi nilai-nilai korupsi. Naiknya Gamawan Fauzi sebagai menteri dalam negeri yang dikenal ASEAN sebagai salah seorang penggerak pemerintahan bersih seolah membenarkan bahwa konsep pemerintahan yang bersih memang belakangan telah mengalami pergeseran nilai. Pemerintahan bersih sudah tak lagi menjadi ‘proses’ dalam pembangunan melainkan menjadi ‘tujuan’.

Apa yang sejatinya diharapkan oleh masyarakat adalah kesejahteraan. Keadaan dimana tak lagi banyak penduduk yang menganggur, keamanan terjaga, lingkungan yang nyaman, taraf kesehatan yang lebih baik, dan lebih banyak kesempatan untuk dihabiskan bersama keluarga dan komunitas. Demikian yang mestinya menjadi sasaran akhir dari proses pembangunan. Adapun dalam mewujudkan tujuan tersebut beberapa cara dilakukan seperti bertindak diktator yang tercermin pada masa orde baru ataupun dengan demokrasi yang sedang berkembang. Demokrasi dalam perkembangannya sering kali diidentikan dengan kebebasan bersuara dan pengambilan keputusan dengan cara mufakat. Dengan demikian pemerintahan demokrasi memang mempunyai alur birokrasi kebijakan yang jauh lebih panjang. Secara konsep dan tujuan, demokrasi dapat dikatakan mempunyai tujuan yang lebih baik. Akan tetapi secara teknis, sebaliknya hal ini membantu Indonesia menjerumuskan diri kepada jeratan korupsi. Nyatanya, setiap hari berbagai kasus korupsi menambah ‘hiburan’ di berbagai media di Indonesia. Termasuk bagian dari pemerintahan yang menjanjikan ‘pemerintahan bersih’ tadi. Jika ditarik garis merahnya bisa disimpulkan bahwa demokrasi tidak mampu memberikan pemerintahan yang bersih sejauh ini. 

Selain memperbesar peluang penyelewengan, birokrasi yang panjang juga menciptakan pemerintahan yang tidak bertanggung jawab dan proses pengambilan keputusan yang lama. Hasilnya pembangunan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Padahal masa jabatan hanya selama lima tahun. Dengan proses pembangunan lebih lama maka lebih sedikit proyek pembangunan yang mampu dilaksanakan. Tentu saja hal ini menyebabkan memangkas system dipandang sebagai solusi yang baik. Untuk itu sangat besar peran ketegasan dan kediktatoran dalam diri seorang pemimpin.

Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal apa iya demokrasi sudah memenuhi tuntutan dari reformasi 98? Apa iya kita butuh demokrasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar