Semua orang tentu masih
ingat polemik kekuasaan masa orde baru yang penuh dengan nuansa korupsi dan
kediktatoran. Jengah dengan pemerintahan yang korup, massa bergerak
bersama-sama bersatu menentang bahkan merobohkan kekuasaan yang berkuasa atas
nama demokrasi. Alasannya kediktatoran presiden tidak memberi celah bagi
masyarakat untuk bersuara. Tentu saja alasan ini jadi alasan tambahan disamping
besarnya perasaan merugi masyarakat akibat pemerintahan orde baru yang terkesan
memperkaya diri. Lantas satu pertanyaan besar yang membayangi kita kemudian
adalah “Mampukah demokrasi menyajikan bentuk pemerintahan bersih kemudian?”
Pemilu 2009 yang
dimenangkan telak oleh presiden Susilo Bambang Yodhoyono yang notabene
‘menjual’ slogan pemerintahan bersih tentu dapat melukiskan seberapa besar
masyarakat Indonesia ‘haus’ akan pemerintahan yang tak lagi mengadopsi
nilai-nilai korupsi. Naiknya Gamawan Fauzi sebagai menteri dalam negeri yang dikenal ASEAN
sebagai salah seorang penggerak pemerintahan bersih seolah membenarkan bahwa
konsep pemerintahan yang bersih memang belakangan telah mengalami pergeseran
nilai. Pemerintahan bersih sudah tak lagi menjadi ‘proses’ dalam pembangunan
melainkan menjadi ‘tujuan’.
Apa yang sejatinya
diharapkan oleh masyarakat adalah kesejahteraan. Keadaan dimana tak lagi banyak
penduduk yang menganggur, keamanan terjaga, lingkungan yang nyaman, taraf
kesehatan yang lebih baik, dan lebih banyak kesempatan untuk dihabiskan bersama
keluarga dan komunitas. Demikian yang mestinya menjadi sasaran akhir dari
proses pembangunan. Adapun dalam mewujudkan tujuan tersebut beberapa cara
dilakukan seperti bertindak diktator yang tercermin pada masa orde baru ataupun
dengan demokrasi yang sedang berkembang. Demokrasi dalam perkembangannya sering
kali diidentikan dengan kebebasan bersuara dan pengambilan keputusan dengan
cara mufakat. Dengan demikian pemerintahan demokrasi memang mempunyai alur
birokrasi kebijakan yang jauh lebih panjang. Secara konsep dan tujuan,
demokrasi dapat dikatakan mempunyai tujuan yang lebih baik. Akan tetapi secara
teknis, sebaliknya hal ini membantu Indonesia menjerumuskan diri kepada jeratan
korupsi. Nyatanya, setiap hari berbagai kasus korupsi menambah ‘hiburan’ di
berbagai media di Indonesia. Termasuk bagian dari pemerintahan yang menjanjikan
‘pemerintahan bersih’ tadi. Jika ditarik garis merahnya bisa disimpulkan bahwa
demokrasi tidak mampu memberikan pemerintahan yang bersih sejauh ini.
Selain memperbesar
peluang penyelewengan, birokrasi yang panjang juga menciptakan pemerintahan
yang tidak bertanggung jawab dan proses pengambilan keputusan yang lama.
Hasilnya pembangunan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Padahal
masa jabatan hanya selama lima tahun. Dengan proses pembangunan lebih lama maka
lebih sedikit proyek pembangunan yang mampu dilaksanakan. Tentu saja hal ini
menyebabkan memangkas system dipandang sebagai solusi yang baik. Untuk itu
sangat besar peran ketegasan dan kediktatoran dalam diri
seorang pemimpin.
Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal apa iya
demokrasi sudah memenuhi tuntutan dari reformasi 98? Apa iya kita butuh
demokrasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar