Senin, September 24, 2012

Paradigma Keetnisan dalam Pembangunan Wilayah


Ketika rasisme menjadi satu hal yang patut dipertahankan masihkah kita harus bersikukuh meneriakkan kampanye anti rasisme yang telah ‘USANG’?

Masalah keetnisan bukan merupakan hal baru yang berkembang di masyarakat khususnya di Indonesia dimana suku bukan hal yang bisa dihitung dengan jari. Banyak konflik keetnisan terjadi dimana etnis yang dominan baik dari segi jumlah maupun akses terhadap ‘kekuasaan’ menindas etnis yang dianggap lebih lemah sebagaimana konsep plural society berkembang mengabaikan  pluralistic society. Hal ini yang barangkali menyebabkan rasisme dan sukuisme dewasa ini rasanya telah mengalami pergeseran makna.

Berbeda dengan nasionalisme yang terkesan ‘heroik’, sukuisme (atau yang sehari-hari kita ‘pukul rata’ dengan rasisme) seringkali dianggap sebagai paham yang egois, mendewakan suku sendiri hingga mengecilkan fungsi dan peran suku lain. Paradigma yang memandang sukuisme sebagai satu paham yang negatif ini yang menyebabkan isu sukuisme (a.k.a rasisme) menjadi isu sensitif yang sedapat mungkin kita hindari. Dampaknya, sedikit saja membahas sifat kesukuan tertentu sudah mampu melabeli seseorang dengan label ‘sukuis’. Pada akhirnya setiap orang dituntut untuk sama sekali ‘melupakan’ aspek suku ketika menilai seseorang seolah tak-pernah-ada-suku-di-dunia-ini. Lantas bagaimana jika ternyata “suku” adalah hal penting dalam pembangunan?

Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development yang dewasa ini didewakan sebagai ‘guideline’ pembangunan kota dan wilayah menempatkan aspek sosial sebagai pokok perhatian sejajar dengan aspek ekonomi dan lingkungan. Demikian pula dengan paham kota humanis yang membangun kota dengan berorientasi pada masyarakat sebagai pengguna kota. Sederhananya, menurut literatur, aspek sosial adalah salah satu main aspect dalam pembangunan. Tentu saja SUKU merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari aspek sosial. Hal ini yang  disadari Singapura sedari dahulu.

Singapura sebagai negara plural dan didominasi etnis pendatang berusaha ‘memproduksi’ masyarakat yang guyub. Hal ini diimplementasikan dalam pembangunan perumahan yang dilabeli “vibrant town” yakni pembangunan perumahan untuk menciptakan komunitas yang guyub. Diantara salah satu kebijakan yang diterapkan adalah dengan melebur etnis yang ada di dalam satu flat atau apartemen dengan komposisi tertentu.Hal ini dilakukan untuk ‘mencegah’ munnculnya social power yang dominan dari etis tertentu. Kebijakan ini diwujudkan dikarenakan urusan ke-etnis-an menjadi satu isu sensitive’ disana.

Kasus yang berbeda dilihat di Provinsi Riau dimana status sosial dan perekonomian tersegregasi berdasarkan etnis. Sebut saja Riau yang didominasi oleh perkebunan mayoritas kegiatannya dilakoni etnis jawa yang notabene produk kegiatan transmigrasi, punya beberapa lahan, dan ulet. Sebaliknya pasar, bisnis, dan perekonomian didominasi oleh etnis China dan Minangkabau. Sedangkan melayu asli malah surut menjadi suku yang terpinggirkan di pedalaman Riau, tanah mereka sendiri. Lantas, ditengah kasus ini haruskah pemerintah mengadopsi pendekatan-pendekatan sosial Singapura dimana masing-masing etnis sebaiknya dilebur dan saling membaur?

Ada beberapa sifat yang khas, menjadi ciri, dan pada praktiknya ikut mempengaruhi kecenderungan dalam dinamika kependudukan. Misalnya kebudayaan turun-temurun yang berkembang dalam diri masyarakat dan dikenal menjadi sifat kesukuan tertentu. Seperti etnis minangkabau yang perantau dan pedagang, Jawa yang ulet, Batak yang keras, dan lain-lain. Bagaimanapun suku menjadi isu yang sensitive, hal ini pada kenyataannya ikut mempengaruhi karakter dan sifat masyarakat. Hal ini ADA dan mau tak mau HARUS diperhatikan dalam pembangunan.

Dalam kasus riau dan pekanbaru sebagai ibukota, ketika kita mampu menciptakan kondisi ekonomi dengan menciptakan system perekonomian yang saling sinergi antar etnis lantas kenapa kita harus membaur layaknya etnis di singapura? Ketika masing-masing etnis yang punya peran berdasarkan sifat keetnisannya tadi dibaurkan yang terjadi hanya tumpang tindih dan perekonomian yang tidak maksimal.

Sesungguhnya pendekatan berbasis ras dan suku (aka rasisme dan sukuisme) dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dibutuhkan. Ada beberapa sifat tertentu dari satu suku/ras yang kadang menjadi ciri dan tak bs dihilangkan. Dan ketika kita membangun akan lebih baik ketika kita mengacu kepada hal tsb. Misal sumbar yang punya kebiasaan merantau dan berdagang. Berbeda dengan kondisi di daerah lain, merantau di Sumatera Barat bukan sekedar proses perpindahan keluar dari daerah asal untuk mencari pekerjaan, melainkan sudah menjadi kecenderungan dan symbol pencarian kedewasaan bagi anak laki-laki. Kemudian kebiasaan berdagang masyarakat Minangkabau pada prakteknya belum diwadahi dengan baik. Sumbar yang memang didominasi pedagang kenapa tak perbesar akses modal bagi masyarakat? Contoh lain adalah batak yang katanya banyak menjadi tukang tambal ban. Mungkin  memang mereka menyukai hal-hal berbau mekanik, kenapa tak coba carikan pakar mekanika disana?

Belum adanya pendekatan pembangunan berbasis suku tercermin dari belum adanya kebijakan yang memihak kegiatan perdagangan di Sumatera Barat, seperti masih belum mendukungnya sarana pendidikan bisnis di provinsi ini dan sulitnya akses modal dikalangan masyarakat . Sebagian bsr penduduk sumbar trsebar di berbagai kota di Indonesia bahkan dunia. Layaknya pahlawan devisa tiap lebaran mereka pulang membawa rupiah dari daerah lain. Rata-rata berprofesi sebagai pedagang dan mendominasi pasar-pasar rakyat seperti tanah abang di jakarta, malioboro di jogja, pasar baru di bandung, dll. Mereka semua rata-rata bahkan tak prnah mendapat kelas bisnis sebelumnya. Bahkan di Sumatera Barat sendiri jarang sekali ditemukan  sekolah-sekolah yang fokus pada ilmu ekonomi. Demikian darah dagang di sumbar tak pernah difasilitasi akses ke pndidikan yang berkaitan. Lantas apa salah jika kita sebut hal ini merupakan bentuk kegagalan pmbangunan yang tak pernah mempertimbangkan aspek ‘suku’ didalamnya? Kadang kita merencanakan sebuah wilayah, katakanlah Kabupaten Semarang. Banyaknya angka TKI yang dihasilkan sering kali kita baca sebagai kecenderungan akibat minimnya akses ke lapangan pekerjaan. Tapi di Padang? Apa iya? 

Well, kesimpulannya, bicara mengenai suku dan ras tidak selalu membuat kita menjadi oknum yang sukuis atau rasis. Buat apa mengabaikan aspek suku dan ras cuma karna takut dibilang rasis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar