Ketika rasisme
menjadi satu hal yang patut dipertahankan masihkah kita harus bersikukuh
meneriakkan kampanye anti rasisme yang telah ‘USANG’?
Masalah keetnisan bukan merupakan hal baru
yang berkembang di masyarakat khususnya di Indonesia dimana suku bukan hal yang
bisa dihitung dengan jari. Banyak konflik keetnisan terjadi dimana etnis yang dominan
baik dari segi jumlah maupun akses terhadap ‘kekuasaan’ menindas etnis yang
dianggap lebih lemah sebagaimana konsep plural
society berkembang mengabaikan pluralistic society. Hal ini yang
barangkali menyebabkan rasisme dan sukuisme dewasa ini rasanya telah mengalami
pergeseran makna.
Berbeda dengan nasionalisme yang terkesan
‘heroik’, sukuisme (atau yang sehari-hari kita ‘pukul rata’ dengan rasisme) seringkali
dianggap sebagai paham yang egois, mendewakan suku sendiri hingga mengecilkan
fungsi dan peran suku lain. Paradigma yang memandang sukuisme sebagai satu
paham yang negatif ini yang menyebabkan isu sukuisme (a.k.a rasisme) menjadi
isu sensitif yang sedapat mungkin kita hindari. Dampaknya, sedikit saja
membahas sifat kesukuan tertentu sudah mampu melabeli seseorang dengan label
‘sukuis’. Pada akhirnya setiap orang dituntut untuk sama sekali ‘melupakan’
aspek suku ketika menilai seseorang seolah tak-pernah-ada-suku-di-dunia-ini.
Lantas bagaimana jika ternyata “suku” adalah hal penting dalam pembangunan?
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development yang dewasa ini
didewakan sebagai ‘guideline’
pembangunan kota dan wilayah menempatkan aspek sosial sebagai pokok perhatian
sejajar dengan aspek ekonomi dan lingkungan. Demikian pula dengan paham kota
humanis yang membangun kota dengan berorientasi pada masyarakat sebagai
pengguna kota. Sederhananya, menurut literatur, aspek sosial
adalah salah satu main aspect dalam
pembangunan. Tentu saja SUKU merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari
aspek sosial. Hal ini yang disadari
Singapura sedari dahulu.
Singapura sebagai negara plural dan
didominasi etnis pendatang berusaha ‘memproduksi’ masyarakat yang guyub. Hal
ini diimplementasikan dalam pembangunan perumahan yang dilabeli “vibrant town” yakni pembangunan
perumahan untuk menciptakan komunitas yang guyub. Diantara salah satu kebijakan
yang diterapkan adalah dengan melebur etnis yang ada di dalam satu flat atau apartemen dengan komposisi tertentu.Hal ini dilakukan untuk ‘mencegah’
munnculnya social power yang dominan dari
etis tertentu. Kebijakan ini diwujudkan dikarenakan urusan
ke-etnis-an menjadi satu isu ‘sensitive’ disana.
Kasus yang berbeda dilihat di Provinsi Riau dimana
status sosial dan perekonomian tersegregasi berdasarkan etnis. Sebut saja Riau
yang didominasi oleh perkebunan mayoritas kegiatannya dilakoni etnis jawa yang
notabene produk kegiatan transmigrasi, punya beberapa lahan, dan ulet.
Sebaliknya pasar, bisnis, dan perekonomian didominasi oleh etnis China
dan Minangkabau. Sedangkan melayu asli malah surut menjadi suku yang
terpinggirkan di pedalaman Riau, tanah mereka sendiri. Lantas, ditengah kasus
ini haruskah pemerintah mengadopsi pendekatan-pendekatan sosial Singapura dimana
masing-masing etnis sebaiknya dilebur dan saling membaur?
Ada beberapa sifat yang khas, menjadi ciri,
dan pada praktiknya ikut mempengaruhi kecenderungan dalam dinamika
kependudukan. Misalnya kebudayaan turun-temurun yang berkembang dalam diri
masyarakat dan dikenal menjadi sifat kesukuan tertentu. Seperti etnis
minangkabau yang perantau dan pedagang, Jawa yang ulet, Batak yang keras, dan
lain-lain. Bagaimanapun suku menjadi isu yang sensitive, hal ini pada
kenyataannya ikut mempengaruhi karakter dan sifat masyarakat. Hal ini ADA dan
mau tak mau HARUS diperhatikan dalam pembangunan.
Dalam kasus riau dan pekanbaru sebagai
ibukota, ketika kita mampu menciptakan kondisi ekonomi dengan menciptakan
system perekonomian yang saling sinergi antar etnis lantas kenapa kita harus
membaur layaknya etnis di singapura? Ketika masing-masing etnis yang punya
peran berdasarkan sifat keetnisannya tadi dibaurkan yang terjadi hanya tumpang
tindih dan perekonomian yang tidak maksimal.
Sesungguhnya pendekatan berbasis ras dan suku
(aka rasisme dan
sukuisme) dalam
pembangunan merupakan sesuatu yang dibutuhkan. Ada beberapa sifat
tertentu dari satu suku/ras yang kadang menjadi ciri dan tak bs dihilangkan. Dan ketika kita membangun
akan lebih baik ketika kita mengacu kepada hal tsb. Misal sumbar yang punya kebiasaan
merantau dan berdagang. Berbeda dengan kondisi di daerah lain, merantau di
Sumatera Barat bukan sekedar proses perpindahan keluar dari daerah asal untuk
mencari pekerjaan, melainkan sudah menjadi kecenderungan dan symbol pencarian
kedewasaan bagi anak laki-laki. Kemudian kebiasaan berdagang masyarakat
Minangkabau pada prakteknya belum diwadahi dengan baik. Sumbar yang memang
didominasi pedagang kenapa tak perbesar akses modal bagi masyarakat? Contoh lain adalah batak yang katanya banyak menjadi tukang tambal
ban. Mungkin memang
mereka menyukai hal-hal berbau mekanik,
kenapa tak coba carikan
pakar mekanika disana?
Belum adanya pendekatan pembangunan berbasis suku tercermin dari belum adanya kebijakan yang
memihak kegiatan perdagangan di Sumatera Barat, seperti masih belum
mendukungnya sarana pendidikan bisnis di provinsi ini dan sulitnya akses modal
dikalangan masyarakat . Sebagian bsr penduduk sumbar trsebar di berbagai kota di
Indonesia bahkan dunia. Layaknya pahlawan devisa tiap lebaran mereka pulang membawa rupiah dari
daerah lain. Rata-rata berprofesi sebagai pedagang dan
mendominasi pasar-pasar rakyat seperti tanah abang di jakarta, malioboro di
jogja, pasar baru di bandung, dll. Mereka semua rata-rata bahkan tak prnah
mendapat kelas bisnis
sebelumnya. Bahkan di Sumatera Barat sendiri jarang sekali ditemukan sekolah-sekolah yang fokus pada ilmu ekonomi. Demikian darah dagang di sumbar tak pernah difasilitasi
akses ke pndidikan yang berkaitan. Lantas apa salah jika kita sebut hal ini merupakan bentuk kegagalan pmbangunan yang tak pernah mempertimbangkan aspek
‘suku’ didalamnya? Kadang kita merencanakan sebuah wilayah, katakanlah Kabupaten Semarang. Banyaknya angka TKI yang dihasilkan sering kali kita baca sebagai kecenderungan
akibat minimnya akses ke lapangan pekerjaan. Tapi di Padang? Apa iya?
Well,
kesimpulannya, bicara mengenai suku dan ras tidak selalu membuat kita menjadi
oknum yang sukuis atau rasis. Buat apa mengabaikan aspek suku dan ras cuma karna
takut dibilang rasis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar