PENGERTIAN
RESILIENT CITY
Resilience menurut bahasa merupakan kemampuan
untuk bangkit dari keterpurukan atau situasi sulit. Hal ini diperkuat oleh
Walker (2007) yang menyatakan bahwa:
Resilience is the capacity of a
system to absorb disturbance and reorganize while undergoing change, so as to
still remain essentially the same function, structure, identity, and feedbacks.
Sejalan dengan itu, menurut The Recilience Alliance (2011) resilience didefinisikan
sebagai berikut :
Resilience is the ability to absorb
disturbances, to be changed and then to re-organise and still have the same
identity (retain the same basic structure and ways of functioning). It includes
the ability to learn from the disturbance. A resilient system is forgiving of
external shocks.
Kedua pendapat
diatas menekankan pada dua hal yakni
kemampuan menata kembali (re-organizing) setelah terjadinya perubahan
dan kemampuan menciptakan fungsi, struktur, dan identitas yang sama dengan
sebelumnya. Tak jauh berbeda dengan kedua pandangan diatas, berikut dikemukakan
pengertian dari resilience :
"Resilience is the capacity and ability of a community to withstand
stress, survive. adapt, bounce back from a crisis or disaster and rapidly move
on. Resilience needs to be understood as the societal benefit of collective
efforts to build collective capacity and the ability to withstand stress."
(ICLEI Briefing Sheet. 2011)
Pengertian diatas memiliki sedikit perbedaan dengan pengertian sebelumnya
yakni menambahkan unsur peran komunitas dalam menciptakan sebuah ketahanan
terhadap kerentanan terhadap bahaya tertentu. Dengan demikian, pengertian resilient city sendiri diungkapkan dalam
The Recilience Alliance (2011) sebagai berikut:
A Resilient City is one that has developed capacities to
help absorb future shocks and stresses to its social, economic, and technical
systems and infrastructures so as to still be able to maintain essentially the
same functions, structures, systems, and identity.
Berdasarkan
pengertian diatas, resilient city
dapat diterjemahkan sebagai suatu kota yang mampu bertahan dari berbagai jenis
ancaman yang berkembang, baik yang datang dari alam seperti bencana alam hingga
yang berkembang akibat tindakan manusia. Sebuah resilient city juga mampu
menjaga kestabilan kondisi sosial, ekonomi, dan infrastruktur pasca perubahan
tertentu dengan tetap mempertahankan fungsi, struktur, sistem, dan identitas
sebelumnya.
PENGERTIAN DISASTER RESILIENT CITY
Disaster Resilient City merupakan kota dengan kapasitas pembangunan
yang mampu bertahan dari ancaman bencana alam. Dengan kata lain kota ini
dianggap mampu mengembalikan fungsi, struktur, dan identitas kota tersebut
pasca bencana tanpa memakan waktu yang lama. Di Indonesia, Disaster Resilient
City seringkali diidentikkan dengan Kota Siaga Bencana. Pengertian dari Kota
Siaga Bencana sendiri menurut Oetomo (2012) adalah sebagai berikut :
Kota Siaga Bencana adalah kota yang siap menghadapi serangan semua jenis
bahaya/hazard yang mengancam dengan seluruh aspek kerentanan (fisik/lingkungan,
ekonomi, sosial dan kelembagaan) yang rendah dan mempunyai kapasitas yang
tinggi dari seluruh pemangku kepentingan kota untuk menanggulangai risiko dan
dampak/kerugian yang timbul sehingga dapat kembali ke kondisi semula seperti
sebelum terjadinya bencana secara relatif cepat.
Adapun dalam
penangan terhadap bencana dikenal istilah mitigasi bahaya (hazard mitigation). Hazard
Mitigation adalah usaha yang diambil dalam mengurangi atau menghilangkan
dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan properti dari bahaya tertentu dan
akibat yang ditimbulkannya (Godscalk, 2003). Hazard mitigation sendiri melingkupi perhitungan terhadap struktur
konstruksi dan standar pembangunan berdasarkan rencana guna lahan dan akuisisi
property. (Schwab, 1998)
Menurut UU RI no
24 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana, bencana itu sendiri diterjemahkan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu :
1.
Bencana alam; yaitu bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, badai dan
tanah longsor.
2.
Bencana non-alam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa non-alam seperti gagal teknologi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3.
Bencana sosial
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkomunitas masyarakat dan teror.
Dari jenis bencana tersebut, penelitian ini fokus kepada
bencana-bencana yang merupakan dampak dari proses/dinamika alam.
PRINSIP DISASTER RESILIENT CITY
Ada empat bentuk respon menanggapi kerawanan (vulnerability) terhadap bencana alam menurut
Oetomo (2012) yang dapat diklasifikasikan kedalam tiga periode waktu yakni:
a.
Pra Bencana Alam
Dilakukan
dengan :
·
Mencegah/menghindari
hazard;
·
Menghilangkan/mengurangi
kerentanan.
b.
Saat Bencana
Alam
Dilakukan
dengan :
·
Meningkatkan
kapasitas respon gawat darurat.
c.
Pasca Bencana
Alam
Dilakukan
dengan :
·
Meningkatkan
kapasitas rehabilitasi dan rekonstruksi.
Adapun keempat
strategi yang dilakukan pada tiga waktu tersebut pada dasarnya mempunyai tujuan
dasar yang sama yakni meminimalisir kerugian pasca bencana (mitigasi) dan
secepat mungkin memulihkan keadaan sesuai dengan fungsi semula. Keempat strategi tersebut menurut Oetomo (2012) dilakukan
sesuai enam prinsip yang telah disusun yakni :
a.
Keberagaman
(diversity);
Yakni
menjunjung tinggi keberagaman baik suku, agama, ras, dan lain-lain dalam
mengupayakan disaster resilient city.
b.
Redundancy;
Yakni
pelaksanaan pembangunan kapasitas secara berulang-ulang. Dilakukan agar
keseluruhan masyarakat rentan bencana menyadari pentingnya upaya mitigasi dan
paham benar dengan prosedur evakuasi saat kondisi darurat.
c.
Modularitas dan
komponen sistem yang tidak saling tergantung;
Yakni prinsip
kemandirian dimana upaya mitigasi yang dilakukan tidak bergantung pada
pembangunan lain.
d.
Sensivitas
umpan balik;
Yakni
mengutamakan respon saat pembangunan kapasitas (capacity building) dilakukan.
e.
Kapasitas untuk
adaptasi;
Yakni
berorientasi pada pembangunan kapasitas pada keseluruhan stakeholder agar
setiap penduduk terkait mampu ikut andil membangun sebuah kota yang tahan
terhadap bencana alam sesuai dengan peran masing-masing.
f.
Tanggung jawab
lingkungan dan keterpaduan;
Yakni melakukan
upaya mitigasi bencana tanpa ikut andil menyumbang kerusakan terhadap
kelestarian alam dan terintegrasi dengan upaya pembangunan lain.
Resilience / ketahanan sebuah kota terhadap bencana
diwujudkan dalam upaya mitigasi dalam meminimalisir dampak terjadinya bencana.
Hal ini lebih dari sekedar proses ‘beradaptasi’ penduduk dengan peluang bencana
yang ada. Berdasarkan The Resilience
Alliance (2011), ada 6 kunci pembentuk sebuah resilient city yakni :
a.
Resilience
Building ; yakni pembangunan fisik yang diintegrasikan dengan rencana
pembangunan kota dengan kriteria teknis dan target tertentu.
b.
Assessments ;
dibutuhkan dalam merumuskan bentuk kerentanan suatu wilayah hingga analisis cost-benefit dari upaya mitigasi-mitigasi yang perlu dilakukan.
c.
Planning ;
Kegiatan perencanaan menjadi penting dalam merumuskan kebijakan yang memihak
pada upaya mitigasi terhadap kerentanan tertentu. Bagaimana kota yang tahan
bencana mengelola pembangunan infrastruktur mereka dengan bijak hingga
bagaimana perencanaan land use ideal di
kawasan tersebut menjadi hal-hal yang harus dirumuskan dalam perencanaan kota
tahan bencana.
d.
Implementasi ;
Pasca proses prediksi dan perencanaan, implementasi dari seluruh kebijakan yang
disusun serta keberhasilan dalam pembangunan komunitas menjadi kunci utama
terciptanya suatu kota yang tahan terhadap ancaman bencana alam.
e.
Keuangan/Finance
; yakni pentingnya keputusan finansial dan kemampuan berinvestasi dalam
menciptakan kota siaga bencana.
f.
Pemerintahan ;
Dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai penanggung jawab terwujudnya
disaster resilient city yang dilakukan melalui local action.
INDIKATOR
DISASTER RESILIENT CITY
Dalam mengklasifikasikan sebuah kota sebagai disaster resilient city (Kota Siaga
Bencana) disusun beberapa indikator yang
dianggap mampu mewakili karakteristik dari disaster
resilient city itu sendiri. Adapun pokok dari Kota Siaga Bencana adalah
bagaimana menciptakan kota dengan masyarakat yang mempunyai kapasitas dalam melaksanakan
upaya mitigasi. Mitigasi itu sendiri dapat digolongkan kedalam dua jenis yakni
:
a.
Mitigasi
Struktural
Mitigasi
structural diartikan sebagai upaya mitigasi yang dilakukan dengan pembangunan
infrastruktur tertentu sebagai penghambat bahaya saat bencana terjadi. Sebagai
contoh adalah pembangunan bendungan di daerah rawan banjir, hingga pembangunan
pemecah ombak di tepi pantai. Kelemahannya, mitigasi jenis ini lebih mahal dan
kadang dapat ikut merusak lingkungan.
b.
Mitigasi Non
Struktural
Yakni upaya mitigasi
yang dilakukan melalui control kebijakan dan strategi lain selain dengan
pembangunan infrastruktur fisik tertentu. Contohnya evaluasi rencana guna lahan
di daerah rawan bencana dan penerapan kebijakaran persyaratan konstruksi rumah
tahan gempa di kawasan rawan gempa. Mitigasi jenis ini biasanya menggunakan
dana yang minim, sesuai dengan prinsip sustainable
development, namun memakan waktu implementasi yang lama.
Seiring dengan
populernya konsep sustainable development,
bentuk mitigasi struktural dewasa ini mulai ditinggalkan dan beralih pada
bentuk mitigasi non struktural. Upaya evaluasi guna lahan, pamberian insentif
dan disinsentif, serta kebijakan lain menjadi mulai diperhatikan dan disisipkan
dalam kebijakan yang ditetapkan. Adapun beberapa bentuk mitigasi nonstruktural
yang dapat dijadikan indikator dalam menentukan disaster resilient city adalah sebagai berikut :
a.
Intervensi Guna
Lahan dan Penataan Ruang.
·
Guna Lahan
Dilakukan dengan identifikasi kawasan
rawan bencana dan kawasan rawan bencana yang dimanfaatkan warga untuk kegiatan
tertentu. Setalh identifikasi dapat dilakukan upaya pengendalian guna lahan
melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bagi kawasan yang sudah terbangun dapat
diberikan insentif bagi warga yang mau menjadikan lahannya sebagai kawasan
lindung dan memberikan disinsentif berupa pembatasan fasilitas umum di daerah
rawan bencana ataupun pemungutan retribusi yang besar dalam pembangunan di
kawasan rawan.
·
Standar
Konstruksi
Menetapkan standar konstruksi bangunan
di daerah rawan bencana khususnya gempa dan angin puting beliung.
·
Tata Kelola
Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial
Keterbatasan akses terhadap fasilitas
umum dan fasilitas sosial yang sering kali terjadi pasca bencana mestinya
ditanggulangi dengan memberikan perhatian khusus kepada lokasi pendirian
bangunan fasilitas umum di kawasan rawan bencana. Minimal bangunan fasilitas
umum yang terjadi harus mempunyai konstruksi yang tahan saat bencana terjadi.
b.
Perlindungan
terhadap area konservasi
Beberapa
bencana seperti banjir dan longsor terjadi dikarenakan terjadi alihfungsi
kawasan-kawasan yang mestinya dilindungi. Sebagai contoh kawasan sepanjang
bantaran sungai yang mestinya dijadikan resapan air sudah dialihfungsikan
menjadi areal permukiman. Selain itu pemanfaatan lahan dengan kelerengan tinggi
yang harusnya dilindungi kebanyakan telah dimanfaatkan sebagai area perumahan.
Hal ini memicu munculnya bencana akibat tindakan manusia.
c.
Upaya
Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Upaya ini
dilakukan berkali-kali dalam rangka capacity building (pembangunan kapasitas)
masyarakat yang tahan bencana.
d.
Pelatihan/peningkatan
ketrampilan profesi stakeholder terkait.
Pelatihan
kepada stakeholder terkait berbasis profesi menjadi penting untuk mendukung
penyusunan strategi menciptakan Kota Siaga Bencana. Hal ini dilakukan agar
stakeholder dapat memainkan perannya masing-masing untuk menuju satu tujuan Resilient City.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar