Kota mungkin bagi sebagian orang merupakan ‘objek’ dalam pembangunan. Sesuatu yang terkena dampak dari pola aktivitas dan pembangunan yang berkembang. Mungkin juga cuma di planologi aka PWK kota dipandang jadi sebuah subjek. Suatu hal yang mampu mempengaruhi pola aktivitas manusia dan dibangun sesuai dengan tujuan-tujuan menuju kesejahteraan masyarakat. Bagaimana kota mampu mempengaruhi dan menciptakan satu pola hidup sendiri dibahas jadi objek utama di PWK. Agak absurd memang. Kalau itu kata yang tepat menggambarkan pola berpikir di PWK yang berbeda atau bahkan berlawanan dengan bidang lain. Well, I guess it works. Teori yang diyakini di PWK memang sebenar-benarnya terjadi. Kota memang ‘hidup’ dan memberikan efek besar bagi penghuninya.
Entah dilihat cara divergen atau konvergen, kegiatan yang berkembang di kota merupakan kumpulan prioritas-prioritas yang dimiliki kota tersebut. Ibarat manusia, seseorang adalah hasil dari pengalaman yang telah dia dapat yang berasal dari kumpulan prioritas yang mereka ambil. Ketika seorang mahasiswa punya prioritas di bisnis maka dia akan punya banyak pengalaman bisnis dan andal di bidang bisnis. Output adalah sesuatu yang kita jadikan prioritas. Begitu juga kota. Ketika satu kota mampu mewadahi interaksi antar masyarakat, bisa dikatakan kota tersebut menempatkan aspek sosial menjadi salah satu prioritas. Dan prioritas tersebut yang pada akhirnya mampu menciptakan ‘roh’ atau ‘citra’ dari kota tersebut. Jika dilihat dari arah sebaliknya, bisa disimpulkan membangun roh berarti mengembangkan satu aktivitas tertentu dalam kota. Sederhananya dapat diilustrasikan sebagaimana berikut :
Dimana bagan diatas di tak selalu punya alur turun / beranjak dari atas ke bawah (divergen) melainkan bisa jadi dari bawah ke atas (konvergen). Jakarta misalnya. Kota yang padat dan rakus. Mungkin mengingat Jakarta membuat orang teringat tiga hal : banjir, macet, dan kumuh. Demikian kondisi empiris lapangan mampu menciptakan citra dari satu kota.
Bicara mengenai Jakarta, kadang terpikirkan kehidupan ‘jalanan’ yang memang muncul akibat tingginya kepadatan penduduk ditengah daya saing SDM yang masih rendah. Pengamen dan pengasong baik di jalan raya maupun di kereta rasanya masih menjadi satu hal yang sulit diatasi. Ketika kehidupan jalanan adalah satu-satunya kehidupan yang mereka punya, mengirim kembali anak jalanan ke daerah asal menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Ketika lapangan pekerjaan yang ada belum mampu menjangkau mereka, maka kebijakan pembarsihan kereta dan jalanan dari pengasong tentu mustahil dilaksanakan. Ketika mengasong dan mengamen dibebaskan, hal ini jelas mengganggu visualisasi wajah kota. Lantas harus bagaimana? Secara mikro mungkin solusi pemberdayaan pengasong dan pengamen yang intensif dengan memberikan beberapa ketrampilan bisa diterapkan. Akan tetapi hal ini bukan bersifat global. Permasalahan kehidupan jalanan mestinya ditangani dengan kebijakan global yang menjangkau seluruh kalangan pengamen dan pengasong dalam waktu bersamaan. Penanganan terhadap permasalahan ini menjadi hal yang vital dikarenakan ketika banyaknya pengamen dan pengasong dengan kondisi ekonomi yang serba pas pasan dan gaya hidup yang tidak sehat dengan akses terhadap pendidikan dan kesehatan terbatas, maka yang terlihat adalah rendahnya kualitas hidup masyarakat suatu kota. Pengamen dan pengasong sejatinya merupakan profesi paling rentan mengalami kemiskinan kultural dan rentan kriminalitas. Bisa dikatakan upaya peningkatan quality of life yang disusun pemerintah dengan menurunkan suku bunga, dana BOS, subsidi BBM, dan lain-lain sejatinya tidak tepat sasaran dan setengah setengan karena memang mengutamakan peningkatan kesejahteraan kalangan menengah. Lantas mungkinkah sekali lagi bisa dilakukan tinjauan kembali terhadap sasaran dan rumusan kebijakan yang sesuai dengan sasaran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar