Ada saat-saat tertentu dimana saya merasa ‘geregetan’ dengan kinerja pemerintahan. Khususnya Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Kalaulah boleh sedikit berlebihan, secara umum 90% dari hasil kerja pemerintah hanya menyusahkan masyarakat. Oke mungkin lebih tepatnya 90% pekerjaan pemerintah “TIDAK” memberikan manfaat langsung pada masyarakat. Katakanlah pembuatan SIM yang ‘tadinya’ dimaksudkan menjaga keselamatan pengendara kendaraan bermotor. Well, SIM bukan seperti helm yang secara langsung mampu melindungi pengguna jalan raya. Di beberapa kasus keberadaan SIM meningkatkan kemungkinan dimana masyarakat ‘dipaksa’ mengisi kantong-kantong ‘liar’ polisi. Dan hanya 10% sisanya apa yang dilakukan pemerintah ibarat ‘dewa’ yang mampu memberi manfaat langsung pada masyarakat. Diantaranya adalah pembangunan infrastruktur, bantuan langsung, dan subsidi.
Lantas ketika suatu pemerintahan bahkan tak mampu memberikan 10% tadi dengan maksimal, salahkah jika masyarakat mempertanyakan kinerja pemerintah? Ketika pemerintahan Sumatera Barat bahkan tak mampu memberikan infrastruktur jalan raya yang memadai sebagai penghubung Kota Solok-Padang, masihkan suatu pemerintahan layak diberikan penghargaan? Bahkan ketika masalah ini sudah ada ditempat tersebut sejak waktu yang ‘entah kapan’? Usia saya yang baru seumur jagung mencatat permasalahan tersebut sudah ada sejak jaman ketika Bapak Gamawan Fauzi masih menjabat sebagai Bupati Kabupaten Solok, hingga menjadi Gubernur Sumatera Barat, dan bahkan kini menjadi MENDAGRI. Atau bahkan mungkin sebelumnya? Semenjak saya belum mampu memerhatikan hal-hal yang demikian?
Sejauh ini entah mengapa Pemerintah Daerah Sumatera Barat terkesan terlalu memerhatikan system dan hubungan eksternal provinsi. Sebut saja mantan gubernur Gamawan Fauzi yang mampu meraih penghargaan sebagai pelopor pemerintahan yang bebas korupsi, hingga Gubernur Irwan Prayitno yang giat mencari investor saat bahkan Mentawai baru saja diterjang tsunami. Jauh dilubuk hati yang paling dalam saya tak pernah menyalahkan kedua hal tersebut bahkan berterimakasih terhadap seluruh pengabdian beliau berdua kepada Sumatera Barat. Akan tetapi benarkah hal tersebut mestinya dijadikan fokus utama dalam pembangunan daerah?
Walikota Solo bapak Joko Widodo mungkin tak pernah lebih unggul dalam menciptakan system yang baik dan anti korupsi. Tapi beliau jauh lebih unggul menciptakan kesejahteraan rakyat dengan memprioritaskan kinerja pemerintah kedalam 10% hal yang mampu memberi manfaat langsung pada masyarakat tadi. Bahkan membuat hal-hal tersebut mampu mencapai jumlah yang jauh lebih besar dibanding sekedar 10%. Perhatian pemerintah yang berbasis ekonomi kerakyatan, pembangunan fisik infrastruktur utama disana sini. Perhatian yang sifatnya mikro dan langsung bisa dinikmati oleh masyarakat. Hal ini yang perlu ditinjau ulang oleh pemerintah Sumatera Barat yang pada dasarnya merupakan provinsi yang sangat potensial. Dimulai dari provinsi dengan potensi pariwisata yang luar biasa hingga ‘potensi bencana’ yang luar biasa. Mestinya pemerintah mampu meninjau ulang prioritas kebijakan dan perhatian pemerintah. Tak perlu dipungkiri kadang hal-hal yang terlalu politis tak mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Penting untuk meninjau ulang goal yang dimiliki pemerintah dalam satu pemerintahan. Memperbaiki system atau menyejahterakan masyarakat? Perlukah memperbaiki system ketika memangkas system dipandang jauh lebih ampuh menciptakan kesejahteraan?
Hal lain yang ikut terpikirkan ketika pemerintah tak mampu bahkan menciptakan akses Kota Solok-Padang yang mestinya dihubungkan dengan jalur arteri adalah seberapa besar peran mahasiswa Sumatera Barat sebagai agent of change mengingatkan dan sekedar mengkritisi kinerja pemerintahan terkait hal ini? Yang jelas bagaimanapun keadaannya penting untuk menciptakan ‘persatuan’ dalam mengupayakan pembangunan demi mensejahterakan Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar