Sabtu, Juni 25, 2011

Antara Sastra dan Nasionalisme

-->
Shakespeare dan beberapa karyanya di era renaissance (masa kebangkitan yunani kuno) ternyata tidak saja sekedar meramaikan panggung sandiwara Inggris yang berdampak pada kesusastraan modern dunia pada masa ini. Karya-karya hebat ini juga berhasil menciptakan ‘brand’ tersendiri bagi negara Inggris yang pada masa itu masih merupakan bangsa kecil tanpa jajahan dimana-mana seperti yang kita kenal sekarang. Pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth, meninjau keterbelakangan Inggris dibanding Perancis yang punya anggaran negara sepuluh kali kas kerajaan Iinggris pada masa itu, menciptakan satu gebrakan besar dengan menciptakan angkatan laut yang tangguh dan tak terkalahkan. Prajurit-prajurit tangguh inilah yang pada akhirnya mampu menyamakan kedudukan Inggris sebagai negara penjajah sama seperti Perancis dan Portugal yang telah lebih dahulu meng-adidaya.
Rasa persaingan antara Inggris dan Prancis lah yang pada akhirnya memancing perlombaan kelas dikalangan kaum borjuis di kedua negara tersebut. Hingga memberi celah playwright (dramawan) sekelas Shakespeare meramaikan perkembangan peradaban Inggris yang penuh panggung sandiwara. Hebohnya karya-karya besar Shakespeare yang penuh drama tragedi, cinta, dan komedi menjadi gaya hidup tersendiri bagi keluarga kerajaan inggris dan mereka-mereka penganut paham ‘dunia ini panggung sandiwara’-isme. Drama yang sarat tradisi dan tata krama mengikat pada akhirnya membentuk peradaban yang sarat tradisi dan kelas-kelas sosial hingga mendarah daging disegenap keturunan Inggris. Hal ini yang pada akhirnya menjadi brand dan citra kuat kerajaan inggris hingga saat ini.
Kemunculan kelompok-kelompok borjuis dan beberapa kelas sosial lain yang bilik-bilik otaknya dipenuhi paham 'liberte, fraternite, et egalite' (Kebebasan, Persaudaraan, dan Persamaan) pada akhirnya hijrah menciptakan New England di benua Amerika dan menyatakan kemerdekaan penuh atas kerajaan Inggris sebagai negara Amerika Serikat sebagai satu bentuk ketidak sepahaman atas segala macam tradisi dan tata krama inggris yang sarat nilai-nilai sosial. Itulah mengapa asas kesetaraan dan kebebasan penuh masyarakat ini merupakan dasar utama yang masih dipegang teguh hingga saat ini mewarnai corak politik dan perekonomian mereka. Hal ini yang akrab kita kenal sebagai revolusi Amerika. Tak jauh beda kemudian muncul revolusi Perancis yang telah menginspirasi beberapa negara lain di Eropa untuk ikut membentuk negara republik dan tak lagi dikekang tradisi-tradisi lama serta tata krama dengan kesenjangan sosial yang signifikan. Revolusi Perancis kemudian hadir mewarnai sejarah sebagai satu solusi equity (kesetaraan) sosial di negara Perancis yang sangat bertentangan dengan monarki kerajaan Inggris.
Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai bapak pendiri Indonesia memang tak bisa dikatakan terlepas dari pengaruh perkembangan peradaban barat (khususnya eropa). Latar belakang pendidikan dan domisili di eropa membuat keduanya cukup dekat dengan isu-isu sosial eropa pada masa itu termasuk fenomena Shakespeare-isme. Indonesia yang diikrarkan sebagai salah satu negara berbentuk republik dengan berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia muncul sebagai bentuk penentangan terhadap tradisi-tradisi eropa kuno yang mengikat dan mengklusterkan manusia sesuai dengan kelas sosial keningratan. Secara tak langsung Indonesia meng-copypaste asas 'liberte, fraternite, et egalite' Amerika Serikat meskipun konon dikatakan masih dalam batas-batas tertentu. Terakhir republic Indonesia tercipta secara tak langsung adalah sebagai bentuk penolakan bahwa dunia adalah panggung sandiwara layaknya paham Shakespeare-isme sebagai sastrawan dan dramawan terbesar dalam sejarah literature barat. Meskipun demikian, karya-karyanya merupakan bukti sastra Inggris kuno yang memukau dan menjadi saksi perkembangan peradaban Kerajaan Inggris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar