Sebagai sarana transportasi umum yang terbilang murah dan menjangkau seluruh bagian kota jogja, Kehadiran Transjogja dengan segala kenyamanannya disambut hangat oleh masyarakat Yogyakarta secara umum, termasuk para difabel. Apalagi transjogja dijanjikan dapat diakses oleh semua masyarakat dan juga menyediakan sarana sarana penunjang agar dapat ikut andil dalam transportasi masyarakat difabel. Akan tetapi, hal ini ternyata dalam praktiknya tidak selalu memberikan kemudahan bagi difabel. Beberapa hal tetap saja tidak memperhatikan keberadaan para difabel sebagai konsumen. Toh difabel masih mengalami kesulitan disana sini terutama bagi difabel pengguna kursi roda. Diantaranya :
• Adanya space yang terlalu lebar antara halte dan bis yang berhenti. Hal ini menyulitkan difabel baik tunanetra, pengguna kursi roda, maupun penderita semi ambulant (gangguan berjalan tapi tanpa menggunakan kursi Roda) naik maupun keluar bis.
• Ram (Bidang Miring pengganti tangga bagi difabel berkursi roda) dipintu masuk maupun pintu keluar terlalu curam. Bahkan hampir mencapai 45 derajat. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi difabel berkursi roda maupun pihak keluarga yang mendorong kursi roda tersebut.
• Ram yang ada sering berbatasan langsung dengan tiang bendera, taman, pohon, dan benda benda lain tanpa ada space bagi kursi roda hingga menyulitkan difabel naik maupun turun sari halte.
• Adanya perbedaan ketinggian yang cukup besar antara jalan dan halte transjogja tanpa adanya ram (bidang miring) yang membatasi.
Beberapa hal tersebut mungkin terlihat cukup sepele bagi masyarakat secara umum, akan tetapi bagi difabel terutama pengguna kursi roda hal hal kecil tersebut sangatlah menyulitkan mereka, padahal dalam pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas melalui (1) menetapkan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik, dan (2) melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi, maupun transportasi. Setidaknya aksesibilitas memiliki empat azas yaitu:
• Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
• Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
• Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel.
• Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Dalam menyikapi masalah masalah tersebut hendaknya PT Jogja Tugu Trans pemerhatikan segi desain dan posisi lahan yang digunakan sebagai halte trans. Beberapa perbaikan yang musti dilakukan penyedia transjogja adalah;
1. Halte didisain sedikir menjorok di pintu keluar menuju bis bertujuan agar mempermudah difabel keluar masuk bis.
2. Ram yang tidak terlalu curam. Hal ini diharapkan mampu meringankan beban dalam mendorong kursi roda para difabel. Dalam hal ini kemiringan ram ideal sudah dapat dilihat pada halte Jl. KH Ahmad Dahlan.
3. Halte hendaknya dibangun dan menyisakan space lebih kurang 2 m di sebelah kanan dan sebelah kiri ram agar ketika turun difabel tidak langsung berhadapan dengan taman, tiang bendera, dan tiang listrik sebagaimana pada halte transjogja Jl. KH Ahmad Dahlan, Gembiraloka, Jl. Brigjen Katamso.
4. Penyediaan ram di batas antara jalan raya dan trotoar yang ada diatasnya.
Beberapa hal tersebut diharapkan mampu memberikan aksesibilitas transjogja dikalangan para difabel demi mewujudkan transjogja sebagai sarana transportasi umum yang merangkul semua golongan masyarakat dan merealisasikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 ayat 4 yang mengatur tentang aksesibilitas difabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar