Sabtu, Desember 22, 2012

Alternatif Solusi Permasalahan Konversi Hutan di Indonesia

Yogyakarta, 18 Desember 2012

Banyak fakta dan angka ditampilkan seorang teman di kelas Etika Perencanaan terkait penurunan kuantitas hutan di Indonesia sejak 1960. Kira-kira menurut beberapa sumber, alasan berkurangnya hutan di Indonesia secara drastis adalah konversi lahan untuk pengembangan pertanian, pemanenan hasil hutan, dan pembukaan hutan untuk kepentingan program transmigrasi. Unik memang menurut Rendy Adriyan Diningrat bahwa konversi hutan merupakan konsekuensi yang harus diterima sebuah negara berkembang (yang notabene belum memiliki tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang baik) dalam peningkatan ekonomi lokal. Wajar memang. Tapi bukankah pengrusakan hutan (apalagi 'peng-hilang-an') merupakan sesuatu yang sulit untuk dipulihkan kembali? Jangankan untuk menghutankan kembali kawasan terbangun, banyak kasus ditemukan dimana pembangunan taman dan ruang publik yang juga untuk masyarakat pun masih sulit diwujudkan.

Terlepas dari wajar atau tidak wajarnya pemicu terjadinya konversi hutan di Indonesia perlu dirumuskan beberapa solusi yang dianggap mampu mengatasi permasalahan ini yakni sebagai berikut:

Penyusunan Zonasi dan Penetapan Hutan Abadi

Penyusunan zonasi menjadi penting untuk mempertahankan porsi hutan lindung yang telah ada. Bukan seperti saat ini yang banyak dilakukan upaya penghijauan tapi minim upaya 'penjagaan' terhadap hutan yang telah ada. Aturan zonasi ini harus mempertimbangkan luasan hutan mana yang menjadi hutan lindung dan hutan mana yang kemudian dijadikan hutan produksi. Selain itu, diatur pula mekanisme penebangan hutan produksi apakah perlu menggunakan mekanisme tebang pilih tanam atau tidak. Hal ini yang kemudian diwujutkan melalui instrumen perijinan oleh birokrat terkait.

CSR dan Carbon Trading

Mekanisme ini berusaha melibatkan faktor swasta utamanya industri besar yang banyak menyumbang emisi dan kerusakan bagi lingkungan. Caranya dengan pemanfaatan Corporate Social Responsibility untuk kepentingan penghijauan. Jika perlu dengan carbon trading yakni pembayaran kerusakan lingkungan sesuai dengan tingkat emisi yang dihasilkan. Bentuk 'pembayaran' emisi ini adalah pembelian hutan dari masyarakat lokal.

Penguatan Ekonomi Lokal

Klasik sebenarnya ketika alasan orang menebang hutan adalah faktor ekonomi kenapa tidak kita dorong perekonomian mereka melalui sektor industri non hasil hutan? Percuma bicara mengenai sistem penegakan hukum ketika perut perut masih kelaparan. Siapa peduli? Namun sulit memang merubah orang-orang yang sudah biasa bekerja di dunia perkayuan untuk bertolak melakoni industri lain. Orang orang yang mengerti seluk beluk dunia perkayuan akan sulit jika diminta melakono hal lain. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap. Jika biasanya di satu desa 100 orang menebang hutan diarahkan menjadi 50 penebang dan 50 pembuat meubel. Minimal mampu menghambat laju penebangan pohon, menambah value added produk, dan mampu memberi waktu regenerasi hutan. Untuk itu harus sengaja disediakan hutan produksi memang. Kendalanya adalah ketika industri meubel malah menjadi sesuatu yang 'menggiurkan' dan menarik pelaku dari sektor lain.

Memperkuat Law Enforcement

Penguatan law enforcement sejatinya merupakan hal klasik dalam mempertahankan hutan Indonesia. Sebut saja dalam kasus illegal logging, pelaku sendiri biasanya bukan orang yang tidak mengerti hukum, melainkan 'orang-orang yang tak tersentuh hukum'. Pengalaman Kuliah Kerja Nyata di Sumatera Barat yang dekat dengan kegiatan illegal logging membuka mata bahwa si pelaku sebenarnya adalah oran-orang yang punya kuasa untuk tidak disentuh hukum karna memang penebangan hutan bukan sesuatu yang bisa ditutup tutupi. Jadi percuma secara teoritis membangun sistem yang lebih kuat ketika sasaran dari hukum itu sendiri adalah orang yang tak terjamah. Untuk itu, law enforcement bukan solusi yang bisa diwujudkan dalam jangka waktu pendek.

Catatan: Tulisan ini merupakan hasil diskusi Kelompok I pada Kuliah Etika Perencanaan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, UGM, angkatan 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar