Sabtu, Maret 17, 2012

Bicara Kota Bermain Kata

Agak membingungkan memang membaca “Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan” karya Iwan Nugroho dimana dengan sangat jelas disebutkan ‘Di Indonesia, taman nasional merupakan kawasan konservasi terpenting yang mengoperasikan kegiatan-kegiatan ekowisata’. Tentu saja hal ini memunculkan banyak pertanyaan ‘salah paham’ di kepala saya yang menyebutkan ‘Lah emang iya taman nasional jadi kunci penting kegiatan ekowisata yang belakangan digaungkan sebagai salah satu bentuk solusi perekonomian sustainable di Indonesia?

Tak hanya taman nasional, banyak objek wisata alam lain yang mampu ditawarkan Indonesia menambah pilihan destinasi wisata kawasan asia pasifik. Ada lembah, gunung, bahkan kawasan pertanian yang hingga saat ini dianggap mampu ‘mengundang’ banyak wisatawan lokal maupun asing. Sebut saja Ubud dengan sawah berjenjang-jenjang di tanah mereka yang menjadi tujuan wisata high end yang memang diperuntukan bagi kalangan yang membutuhkan ketenangan. Tentu saja wisata ekologi yang dibumbui dengan budaya lokal yang kental menjadi salah satu nilai positif yang menjual. Sama seperti Tana Toraja nun jauh di Sulawesi sana. Meskipun pada dasarnya kondisi ekologi yang khas saja sudah mampu mengundang banyak wisatawan seperti keindahan alam bawah laut Raja Ampat Papua. Lantas apa benar taman nasional begitu berperan penting dalam perkembangan ekowisata Indonesia?

Sebagian besar taman nasional Indonesia terdiri atas ribuan flora dan fauna yang sebagian endemik dan memang dijaga perkembangannya. Dan tentu saja tanpa fasilitas kepariwisataan yang lengkap. Berbeda dengan resort-resort yang tumbuh memanjakan visitor dengan view alam yang masih natural dan kadang menawarkan objek ekologi lain untuk dikunjungi. Contoh nyatanya adalah resort yang berkembang di Ubud disekitaran  Monkey Forest yang notabene BUKAN taman nasional. Perlu diperhatikan dimana pariwisata merupakan ‘bisnis’ yang menjual ‘kesenangan dan kepuasan’. Disamping nuansa lokal yang kental a.k.a menyajikan suasana refreshing yang berbeda dibanding tempat tinggal asal pengunjung, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kecenderungan dimana pengunjung yang datang merupakan ‘manusia modern’ yang tentu saja punya ketergantungan dengan gaya hidup modern yang berkembang di negara masing-masing. Penting untuk menyediakan fasilitas hospitality yang baik disamping sekedar menonjolkan nuansa lokal suatu objek wisata. Hal ini yang belum dan tidak mungkin dilakukan di taman nasional yang notabene mempunyai prioritas fungsi konservasi dibanding fungsi komersial pariwisata. Untuk itu bisa dikatakan Taman Nasional BUKAN merupakan kunci pengembangan kegiatan wisata ekologi.

Sebaik apapun konsep pariwisata ekologi, pariwisata dan ekologi adalah dua hal bertolak belakang yang saling membunuh. Ketika kita menjual taman nasional untuk kegiatan wisata maka bersiap mengorbankan daerah sekitar untuk dijadikan kawasan hunian temporer dan memberikan fasilitas lain yang memang dibutuhkan. Sedangkan menyediakan fasilitas pariwisata disekitar taman nasional sama saja berarti menyediakan celah untuk resiko degradasi lingkungan bagi kawasan sekitar. Keduanya cuma bisa bertemu ketika kita berusaha membangun fasilitas pariwisata yang ramah lingkungan a.k.a minimalis. Mungkin berupa hunian ramah lingkungan dan beberapa jenis fasilitas wisata yang bisa dikatakan tidak akan membawa banyak keuntungan. Intinya pariwisata dan ekologi meskipun bisa berjalan beriringan tapi tak pernah bisa berjalan seimbang. Dan taman nasional bukan ‘primadona’ ekowisata di Indonesia.

Lantas kembali ke kalimat ‘Di Indonesia, taman nasional merupakan kawasan konservasi terpenting yang mengoperasikan kegiatan-kegiatan ekowisata’, mungkin ada cara lain dengan penekanan berbeda untuk membaca kalimat ini. Atau kerancuan kalimat ini mungkin bisa diatasi dengan redaksional berbeda seperti ‘Taman nasional merupakan salah satu kawasan yang mengoperasikan kegiatan ekowisata disamping fungsinya sebagai kawasan konservasi yang cukup penting’.

Atau memang dari awal tidak ada orang lain yang menganggap kalimat ini cukup ambigu selain saya?

1 komentar:

  1. wah cukup kritis neh tulisan.....mantabz
    kekny cocok neh jd ahli tatakota,hehehe...lam kenal ;p

    BalasHapus