Kamis, Februari 02, 2012

Dan Senja Tak Lagi Sama

Manusia adalah apa yang pengalaman berikan.

Siapa tak suka senja? Saat dimana cahaya matahari berkilauan dan menerpa tubuh. Hangat. Tak lagi panas. Seolah panas yang ada hanyalah sisa suhu tinggi yang telah habis dimakan siang. Siapa tak suka senja yang penuh jingga? Warna berbeda yang dihamparkan langit penuh cinta. Siapa tak suka senja di pantai biru? Saat kilau mentari terbias bak mutiara di dasar samudera. Tapi siapa sangka senja ternyata tak selalu sama.

Dan senja ini berbeda. Senja ini tak sama seperti senja sebelumnya. Sebelum langit memberikan pengalaman duduk di ruangan ber-AC didepan karyawan-karyawan yang setiap hari bergelut dengan kepariwisataan Indonesia. Senja yang lalu hanya berisi mimpi-mimpi menjadi seorang pengusaha. Mimpi-mimpi mendalami pariwisata. Dan mimpi-mimpi menjadi seorang perencana pembangunan kota. Yak. Senja yang menampilkan persilangan antara ketiga mimpi tadi. Pengusaha property bidang pariwisata. Senja ini saya disini. Sebuah senja di Pulau Dewata memberikan satu cara pandang yang berbeda.

Dilema besar memang seiring berkembangnya sektor pariwisata sebagai sektor yang mulai dilirik sebagai salah satu alternatif basis perekonomian dengan multiplier effect cukup besar bagi perekonomian. Sektor ini belakangan seolah berkembang sebagai primadona di tanah air. Apalagi mulai muncul banyaknya buku-buku pedoman perjalanan membuat pariwisata tak hanya diidolakan sebagai sektor produksi bagi perekonomian melainkan juga sektor yang dikonsumsi masyarakat tanah air besar-besaran. Tentu saja peluang investasi yang besar bagi pelaku bisnis property tanah air maupun internasional. Lantas benarkah hal ini berdampak positif bagi perkembangan kepariwisataan Indonesia?

BTDC (Bali Tourism Development Corporation ) Nusa Dua adalah sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bekerja focus di bidang pariwisata Indonesia. Bermula dari Nusa Dua, BTDC membangun sebuah resort gemerlapan di daerah tandus di bilangan Nusa Dua. Sebuah rencana pengembangan yang bagus memang. Memanfaatkan lahan tandus menjadi lahan produktif yang membawa devisa cukup besar. Akan tetapi pada kenyataannya mampukah resort ini bersinergi dengan sektor lain yang mampu menunjang ekonomi kerakyatan?

Developer dan masyarakat ibarat dua binatang yang saling memangsa demi mempertahankan hidup satu sama lain. Setidaknya demikian yang terlihat. Ibarat pembangunan mall dengan pasar disekitarnya, keduanya adalah dua hal yang saling mematikan. Hanya saja kasusnya sedikit berbeda pada pembangunan kawasan wisata. Ketika mall dan pasar dibangun berdekatan maka pasar akan mati. Karena kecenderungan konsumen memilih mall sebagai best choice. Tapi ketika sebuah resort disandingkan dengan budget tourism maka resort yang ada akan mati. Kenapa? Karena tak lagi akan ada sisi ke-private-an dari resort yang biasanya menjadi nilai lebih yang dijual oleh pengembang. Pariwisata merupakan satu sektor yang ‘menjual’ kesenangan dan ketika kesenangan itu dinikmati oleh semua orang maka konsumen akan kehilangan esensi dari ‘kesenangan’ itu sendiri. Berbeda dengan sektor lain seperti perdagangan. Hukum alam yang menyebabkan resort mau tak mau tak bisa disandingkan dengan budget tourism. Dalam hal ini butuh satu konsep baru dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang diharapkan mampu mensinergikan sebuah resort dengan budget tourism area. Membuat senja ini sedikit berbeda.

Senja ini tak lagi sama. Sebuah senja di pulau Dewata. Mimpi itu terkubur dulu sementara. Selagi keduanya masih saling memangsa maka mimpi itu tak untuk jadi nyata. Lupakan sudah lupakan sajaa.. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar