Liburan selalu saja bawa sesuatu yang berbeda buat saya. Bawa pandangan baru tentang hal-hal yang dulu saya abaikan. Kalaulah liburan lalu saya banyak berbicara tentang jalan penghubung kota Solok-Padang dengan kondisi yang ‘ngenes,’ liburan ini saya mendadak tersentak dengan sesuatu yang lebih mikro. Di studio biasanya kita selalu membahas soal kelengkapan infrastruktur. Yah biasanya sih saya hanya memerhatikan perihal infrastruktur di ruangan studio saat analisis suatu wilayah tapi hari itu saya cukup kaget menyadari “kok sekarang diluar studio gue mikirin infrastruktur ya?”
Buat yang tiap hari melakukan perjalanan rutin Solok-Padang atau paling enggak mahasiswa yang tiap weekend balik ke Solok tentu saja sudah sangat akrab dengan rute ini. Buat yang tahun lalu baca postingan saya soal liburan juga pasti ngerti batapa rute Padang-Solok adalah sepotong bagian jalan arteri di Sumatera Barat dengan rute cukup berat naik turun berbelok-belok melewati daerah rawan longsor. Kemacetan jadi hal yang biasa tanpa harus lampu merah menyala dulu disana. Ketika diguyur hujan akan mutlak longsor. Terus terang saya kaget di mata kuliah geologi, kebencanaan alam, dan tata ruang kemarin melihat jenis batu metamorf keras hasil tumbukan dua lempeng patahan yang rawan longsor. Bukannya mengapa tapi karena saya setiap hari harus melihat jenis batu tersebut hanya beberapa km dari rumah saya. Waktu SMA saya bahkan seringkali dilarang kedua orang tua bertandang ke kota Padang akibat rawannya arus transport di area tersebut.
Di jalanan yang longsor waktu hujan sementara frekuensi hujan di daerah saya terbilang cukup sering, biasanya tengah malam jalanan akan macet dipenuhi dengan truk pengangkut barang-barang berat baik produk berupa besi, batu bara, dan lain lain. Sepanjang perjalanan yang kita temui hanyalah truk, bis, dan travel. Itupun ada satu titik dimana separuh badan jalan sudah tak layak pakai dan berbatasan langsung dengan tebing curam. Hal ini yang bikin sistem buka tutup dijalankan di kawasan ini. Bus, truk, dan travel yang lewat dari arah kanan dan kiri bergantian lewat hanya menggunakan separuh badan jalan dengan beberapa orang pemuda yang mengomando. Jalanan yang biasa ditempuh hanya memakan waktu 1.5 jam jika malam datang berubah jadi 4-5 jam perjalanan. Parahnya lagi rute yang berat seperti itu ditempuh TANPA lampu jalan sama sekali. Dibeberapa titik hanya ada signage orange petunjuk arah jalan dengan cat menyala di waktu malam. Itupun tidak di semua titik curam. Dan hey! Masih belum cukup itu semua, kawasan ini seringkali berkabut pada malam hari. Bikin saya heran ini sebenernya sopir di Sumatera Barat matanya make mata elang semua apa sayanya yang katrok jarang denger berita kecelakaan di daerah itu? Bahkan diakhir diburan saya diperjalanan ke Minangkabau International Airport si supir harus menyalakan AC ditengah dinginnya subuh yang menusuk tulang. Katanya “Kalau AC nya nggak nyala, jalannya nggak keliatan dek” dan guess what! Kaca depan mobil jadi bening banget, walaupun masih berkabut jalanan tetap terlihat meskipun samar. Saya jadi mikir bukannya prinsip AC bikin sejuk di dalam dan hawa panasnya keluar ya? Kalau dingin didalam bukannya malah mengembun ya? Ah entahlah tak terjangkau otak saya ini.
Saya jadi ingat perjalanan ke pantai Baron di Wonosari yang naik dan berbelok belok. Waktu itu teman-teman saya saja mengeluh ngeri, saya sih santai saja. Lha wong rute saya biasanya Solok-Padang lebih serem dari pada itu. Emang sih sama-sama naik dan berbelok-belok. Cuma kan nggak di tebing yang separuh jalannya sudah longsor, nggak di tempat yang kapan saja kita bisa ditimpuk batu batuan rapuh dari atas, nggak ditempat yang berkabut, dan nggak TANPA LAMPU JALAN kalau malam!
Kondisi seperti ini bikin saya berpikir betapa banyaknya orang pintar dari Sumatera Barat, memang sih lebih banyak orang kaya tapi orang berpengaruh gak kalah banyak. Kenapa bisa se-ngenes ini? Dan kalau saya lihat dosen saya bener, daerah sepanjang infrastruktur yang tidak memadai tidak berkembang. Walaupun jalannya itu jalan Arteri tapi cuma beberapa rumah yang ditemui di pinggir jalan. Dan itupun palingan warung kopi tempat berhenti supir dikala ngantuk dan macet. Kota Soloknya sendiri cukup berkembang di sepanjang jalan utama. Dan lagi karena Solok jadi pintu keluar dari sawahlunto dan dharmasraya, kegiatan distribusi barang di Solok masih cukup rame. Tapi tanpa adanya ‘tidakan’ nyata ngerubah itu semua, walaupun jalur Solok-Padang Panjang-Padang yang notabene muter tetep lancar, saya menghawatirkan beberapa kesulitan yang akan muncul kemudian. Bayangkan kalau jalur jogja solo vakum darat laut dan udara! Dan mirisnya lagi, pemerintah seperti adem ayem bakal bikin jalur alternative cuma kalau jalanan yang tinggal separuh badan jalan tadi benar-benar amblas semua. Ayolah sumbar butuh banyak planner!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar