Indonesia, negara kepulauan yang 70%-nya tersusun atas air baik air asin maupun air tawar hingga saat ini bahkan belum mampu ‘berdamai’ dengan air. Miris menyaksikan puluhan rumah seringkali terseret banjir di musim hujan terutama di kota-kota besar yang hanya mengandalkan jaringan drainase saja dalam hal mengendalikan banjir. Secara pribadi cukup ‘wow’ ketika menemukan bebasbanjir2025.wordpress.com dimana didalamnya disajikan teknologi sederhana perihal pemenuhan kebutuhan air bersih penduduk hingga pengendalian banjir, dimulai dari ajakan menyediakan drum penampung air hujan hingga kolam air hujan skala kawasan. Memang negara kita belum ada apa-apanya jika dibandingkan Belanda, negara yang kita hujat sebagai penjajah padahal cukup memberi kita banyak kesempatan belajar di negara tersebut terkait cara berdamai dengan air dan tanah. Disaat dutch mencoba membuat teknologi rumah terapung yang mampu menjamin kualitas hidup penduduk dengan baik dalam rangka ‘menghadang’ kenaikan air laut akibat global warming, negara kita bahkan tak mampu menyediakan air bersih bagi kebanyakan penduduk.
Air bersih memang menjadi masalah nasional meski di desa dan kota mungkin terdapat perbedaan konteks. Di kota permasalahan seperti banjir dan kurangnya stok air bersih mungkin lebih mendominasi, sedangkan di desa yang notabene stok air tanah dan air sungainya lebih banyak, masalah distribusi air masih saja mengurangi kualitas hidup masyarakat. Terlihat dari MCK yang belum memadai, dan teknologi pengolahan air tanah yang belum baik. Tak jarang di desa ditemui MCK massal dengan sumber air dari pancuran yang keruh. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat penyakit menular ataupun diare dikalangan penduduk. Apalagi air bersih yang digunakan untuk mandi BELUM bisa dikatakan bersih karena masih berbau dan berwarna.
Pada dasarnya banyak strategi sederhana yang jika di praktikan akan memberi banyak sumbangan terhadap pengendalian banjir. Seperti pembuatan drum air hujan di setiap rumah di kota besar. Tertutupnya sebagian besar lahan kota yang pada awalnya mempunyai fungsi sebagai penyerapan air hujan sudah semestinya kita ‘ganti rugi’ dan bayar dengan teknologi penampungan air tanah manual tanpa bantuan alam. Secara mmatematis menurut bebasbanjir2025.wordpress.com, benefit yang dihasilkan dapat dihitung sebagai berikut :
“Setiap 1 cm curah hujan yang jatuh di area sebesar 40 meter persegi bisa mendapatkan air hujan sebesar 900 liter atau 237 galon air. Bila luas atap rumah kita sebesar 100 meter persegi (atau 2.5×40 meter persegi) maka kita bisa dapatkan air hujan sebanyak 900 x 2.5 = 2250 liter air hujan untuk setiap 1 cm curah hujan. Bisa dikatakan kapling tanah di rumah kita jika tertanami tumbuhan dan alm keadaan tidak banjir, mampu menyerap dan mengalirkan 2250 liter.
Jika rata-rata curah air hujan di Jakarta adalah 242 cm per tahun.Jadi per tahunnya kita bisa menangkap air hujan sebanyak 242 x 2250 yaitu = 544500 liter air hanya dari rumah kita saja. (sama dengan 143,800 galon air). Kalau air galonan kita hargakan 1000 rupiah saja, kita sudah menghemat 143 Juta rupiah hanya dari satu kapling rumah.”
Sudah sepantasnya dalam pembangunan 1 rumah, setiap keluarga punya tanggung jawab mengelola dan mengendalikan 2250 liter air setiap 1 cm curah hujan. Apalagi dalam skala yang lebih besar seperti apartemen yang terdiri atas puluhan lantai. Kewajiban mengurangi jejak ekologis (kerusakan yang diciptakan tiap manusia terhadap alam perkapita) inilah yang mestinya diatur dan ditegaskan dalam undang-undang. Seperti mewajibkan setiap rumah punya teknologi pengolahan air bersih sendiri.
Berbeda halnya dengan komplek perumahan yang dikelola oleh developer. Dalam hal ini mestinya kemampuan developer bukan hanya menyediakan air bersih melainkan juga menanggulangi kerusakan terhadap penyerapan air hujan dengan teknnologi jadi syarat utama proses pembangunan. Mestinya saat memberikan izin mendirikan bangunan (IMB), analisis dampak lingkungan yang ada bisa menjadi acuan kewajiban-kewajiban developer dalam mengurangi dampak negatif bangi lingkungan.
Selain itu, untuk konteks pembangunan di desa, mestinya tanpa mengandalkan PDAM, minimal di setiap desa mempunyai system pengolahan air bersihnya sendiri. Jika bukan dari pemerintah minimal swadaya ‘tenaga’ masyarakat setempat dikarenakan teknologi pengolahan air di pedesaan biasanya lebih sederhana dan murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar