Minggu, Agustus 07, 2011

TKI Benarkah “Pahlawan Devisa” Indonesia?

Kalaulah kita coba masuk Soekarno Hatta International Airport, terminal penerbangan internasional baik kedatangan maupun keberangkatan, terpampang jelas tulisan “Selamat Datang (Jalan) Pahlawan Devisa Indonesia”. Lantas benarkah mereka para TKI dan TKW tersebut ‘layak’ disebut sebagai ‘pahlawan’ devisa Indonesia?

Ditilik dari segi keuangan, sederhananya devisa merupakan mata uang asing yang masuk ke dalam negeri bantu men-support perekonomian dalam negeri. Lantas kenapa devisa menjadi sangat penting? Devisa sejatinya mampu menambah jumlah uang yang beredar dalam suatu negara (tentu saja berarti warga negara dapat membeli lebih banyak dan lebih sejahtera) tanpa harus banyak mencetak mata uang dalam negeri, dalam kasus ini sebut saja rupiah. Mencetak banyak rupiah pada dasarnya hanya mampu menyebabkan kenaikan harga barang (inflasi). Naiknya kuantitas rupiah yang beredar jadi latar belakang rendahnya nilai uang yang ada. Dengan kata lain makin banyak devisa, makin besar daya beli masyarakat sementara kondisi rupiah tetap stabil. Sederhananya seperti itu. Pengen lebih lengkap? Tanya anak ekonomi. :P

Sejauh ini bukan sedikit permasalahan-permasalahan ‘mencoreng’ nama baik dan martabat bangsa Indonesia lewat keberadaan TKI di luar negeri. Setiap hari di televisi banyak ditayangkan kasus-kasus penganiayaan terhadap TKI mulai dari pemerkosaan bahkan hukuman mati. Kasus ini bahkan tak jarang mengganggu kestabilan politik dalam negeri. Sebut saja mengurangi kepercayaan publik terhadap pihak yang berkuasa akibat ketidak tegasan presiden menanggapi permasalahan tersebut. Tak bisa dipungkiri ketergantungan perekonomian masyarakat Indonesia terhadap TKI dan TKW memang sangat besar.

Lantas setelah mencoreng nama baik bangsa dimata dunia dan menciptakan ketidakstabilan politik dalam negeri masih pantaskah kita menyebut mereka para TKI dan TKW sebagai ‘pahlawan’ devisa?

Berkaca pada negara tetangga, small country with a big need, Singapore , sejatinya banyak solusi lain yang bisa dilakukan meraih devisa. Negri Jiran ini mampu menjadikan pariwisata sebagai kiblat devisa mereka. Setiap tahunnya 10 juta jiwa (2008) berkunjung ke Singapore. Angka ini bahkan lebih dari dua kali jumlah penduduk asli Singapore yang hanya berjumlah 4.8 juta jiwa (2008). Brand Singapore sebagai kota belanja dilengkapi pusat perbelanjaan dimana mana, membuat negara ini menjadi desinasi wisata belanja menarik bagi negara tetangga. Bayangkan berapa dolar Singapore yang mereka raup hanya dari banyaknya penduduk yang masuk, menginap di hotel mereka, makan di restoran mereka, dan menikmati layanan dari maskapai penerbangan mereka. Demikian multiplier effect kegiatan pariwisata sejatinya jauh lebih besar dari kegiatan industry. Itu baru dari kegiatan wisata saja, efek banyaknya wisatawan yang masuk ke negara mereka. Belum lagi brand sebagai negeri ‘wisata belanja’. Kegiatan belanja mereka tentu saja ikut panen devisa dalam jumlah yang tidak sedikit. Bayangkan berapa rupiah yang dibelanjakan disana?, berapa ringgit yang dihabiskan membeli produk mereka, berapa  yuan yang menghidupi penjual souvenir mereka?

Setidaknya kegiatan wisata mereka mampu menghidupkan industri-industri kreatif yang ada, menciptakan banyak peluang usaha dan tenaga kerja, serta meraup devisa. Dari industry souvenir, elektronik, dan produk branded lain. Intinya setelah dapat devisa dari kegiatan wisata, mereka juga dapat devisa dari kegiatan belanja. Karena memang brand wisata belanja mereka cukup kuat. Alias Devisa Dobel. Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Kita punya banyak tempat eksotis, banyak heritage peninggalan sejarah masa lampau, banyak budaya cara hidup masyarakat yang masih dipertahankan, banyak pantai dengan ombak besar potensial digunakan sebagai tempat olahraga air penduduk dunia, punya gunung berapi tempat mendaki para pendaki dunia. Tapi miris sekali ketika semua itu mampu dikalahkan oleh lampu-lampu dan air mancur buatan yang ada diseluruh penjuru Singapore.

Sedang kita? Apa yang kita punya? Yang kita punya hanya alam yang tak dirawat, budaya yang mulai hilang, brand wisata yang sangat lemah, manajemen wisata yang tidak terintegrasi, dan kekayaan yang tak terekspose, terakhir ANGGAPAN BAHWA TKI DAN TKW ADALAH ‘PAHLAWAN DEVISA’ BANGSA.

Banyak jalan meraup devisa. Kenapa harus mempertaruhkan TKI? Coba sesekali remehkan TKI, rendahkan mereka, masih banyak kah orang-orang yang ikut pergi bekerja diluar negeri merendahkan harga dirinya dan bangsanya? Well, mereka bukan pahlawan. Mereka hanya tumbal yang kita kirimkan dalam rangka memenuhi kebutuhan devisa kita. Tumbal yang tak pernah kita bela. Setidaknya itu menurut saya. Menurut anda? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar