Jumat, Juni 17, 2011

Antara Mimpi dan Pengabdian

Kuliah di UGM bikin saya banyak dengar guyonan sekaligus sindiran soal ‘karakter’ mahasiswa UGM yang kerap diperbandingkan dengan mahasiswa ITB. Konon, beberapa cerita yang saya dengar bilang begini, ‘kalau lulusan ITB begitu lulus dan ditawari kerja pasti bilang berani bayar berapa?, nah kalo mahasiswa UGM? Biasanya malah pihak perusahaan yang nanya mau digaji berapa, itupun palingan jawabnya ‘berapa aja asal bisa ngabdi dulu’’. Iya. UGM selama ini diidentikkan menciptakan mahasiswa dengan semangat pengabdian tinggi. Beda lagi kalo dibandingin sama mahasiswa UI. Katanya mahasiswa UI itu lebih kritis dan banyak nanya sedang mahasiswa UGM biasanya doyan kerja dan lebih telaten. Kalo ditanya ke saya sih kayanya ada benernya juga. UGM = kampus pengabdian = kampus tak banyak bicara.

Mimpi saya? Oh saya punya banyak mimpi. Banyak sekali! Pengen jadi pengusaha, pengen belajar di Belanda, pengen ini, pengen itu, sama kok kaya orang-orang. Setiap orang punya mimpinya sendiri. Tapi nggak semua orang punya semangat pengabdian.

Konon saya tak pernah bercita cita menjadi seorang guru. Ibu saya guru Sekolah Dasar. Beliau memperlihatkan dunia seorang guru kepada saya, membosankan, penuh beban, dan entahlah. Selalu banyak alasan bagi saya menolak profesi guru. Tapi belakangan segalanya mulai berubah. Semangat ini menuntun saya menuju sesuatu yang paling tidak saya inginkan. Kenapa guru? Kenapa guru? Kenapa guru? Rasanya pertanyaan itu tak habis dijawab dalam kepala saya. Entahlah. Saya merasa berubah. Semua kondisi di kota ini seolah mengubah saya dalam banyak hal. Pandangan saya terhadap dunia, cara saya berpikir, segalanya. Terlalu banyak perubahan dalam diri saya dua tahun belakangan dan saya menyadari sepenuhnya itu karena pendidikan yang saya tempuh. PENDIDIKAN!!

Kalau Soekarno bilang “Beri saya sepuluh pemuda maka saya akan merubah dunia” sepenuhnya dengan sesadar sadarnya saya berani bilang pemuda yang bisa mengubah dunia adalah pemuda yang berpendidikan. Pemuda yang bilik-bilik otaknya dipengaruhi oleh aliran-aliran yang ditanamkan gurunya. Ketertinggalan Indonesia sejauh ini mutlak adalah tanggung jawab dunia pendidikan. Rasanya ingin sekali melakukan sesuatu yang bisa bantu mengubah Indonesia. Ingin sekali melakukan sesuatu yang mungkin kecil sekali untuk Indonesia ditengah segala keterbatasan dan lemahnya hati ini. Ditengahnya sikap ketidak konsistenan saya, ditengah ketidaktepatan waktu saya, ditengah kepelupaan dan mudah menyerahnya saya, ditengah lemahnya hati dan iman ini sedikit saja punya mimpi berkontribusi untuk kemajuan Indonesia.

Dibelahan lain Indonesia sana banyak sekali penduduk yang masih saja belum terjangkau pendidikan dasar, masih banyak sekali petani-petani muda yang cerdas tapi tak berani bermimpi karna tak pernah diajak bermimpi dan diperlihatkan dahsyatnya pengaruh mimpi dalam hidup kita. Rasanya ingin sekali menjadi bagian dari mereka-mereka pengejar mimpi. Entahlah. Keinginan yang sangat besar bagi jiwa yang kerdil seperti saya. Rasanyaaaa seandainya semua orang seperti saya punya akses yang besar kepada pendidikan mungkin mereka lebih mampu memanfaatkan kesempatan ini. Seandainya semua orang di papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur sana punya koneksi internet di computer pribadi mereka mungkin mereka akan lebih produktif tak seperti saya. Seandainya semua orang di belitong sana punya akses dekat kepada perpustakaan seperti yang saya punya mungkin mereka akan lebih kritis tak seperti saya. Sangat banyak yang saya sia-siakan disini. Jika saja bukan saya tapi si A, B, C, atau D yang disini mungkin mereka lebih mampu nanti menghidupi puluhan keluarga ditangan mereka. Memberikan akses kepada pendidikan untuk puluhan keluarga yang hidupnya ditangan mereka nanti. Sangat banyak hutang yang mestinya bisa saya bayarkan kepada mereka yang saya rebut haknya untuk kuliah disini. Untuk akses internet di lapcomp jutap, akses internet studio perencanaan, akses perpus jutap, perpus kota, perpus kependudukan, dan semua fasilitas lain yang mestinya bisa orang lain mamfaatkan.

Entahlah. Mungkin saya memang berjiwa kerdil. Berhati kecil dan punya keyakinan lemah. Tapi saya berjanji suatu saat akan berkontribusi aktif untuk Indonesia. Mungkin bukan dengan cara teman-teman. Mungkin berbeda. Tapi ingatlah teman kita menuju titik yang sama. Suatu saat saya akan lakukan dengan cara saya sendiri. Entahlah saya hanya tak ingin hidup sia-sia. Saya ingin hidup seperti Alexander The Great yang namanya tak pernah lekang oleh waktu, seperti Shakespeare yang namanya tak pernah habis dimakan zaman. Hanya ingin meninggalkan sebuah maha karya yang bisa dikenang orang lain. Ingin memberitau dunia bahwa saya ‘pernah’ ada.

Jogjakarta 17 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar