Senin, Mei 02, 2011

Utopian Planning, Sebuah Solusi Klasik Ketika Berbenturan Dengan Kemiskinan Studi Kasus : Kota Jakarta



Sebuah kondisi yang sangat dilematis memang ketika kita berusaha membangun sebuah kawasan urban  menjadi “kawasan utopia” dimana segala hal diciptakan seideal mungkin. Terlebih jika kota tersebut merupakan sentra kegiatan perekonomian seperti Jakarta. Disatu sisi semua orang punya “negeri impian” sendiri yang kadang berusaha mereka wujudkan dengan rancang kota yang mereka susun, tapi disisi lain kita tak mungkin menciptakan kawasan perekonomian dimana poverty has no place! Kemiskinan akan selalu ada dan masalahnya adalah dimana keberpihakan para planner terhadap mereka para the have not ini?

Sebut saja kampung melayu dan tanah abang dimana setiap sudutnya hiruk pikuk dari shubuh hingga shubuh lagi. Pusat kegiatan seperti ini seolah punya magnet kuat yang menarik banyak pedagang kaki lima, pengemis, pengasong, pengamen, dan mereka-mereka pencipta citra “kemiskinan” di wajah kota. Lantas ketika kita merencanakan The Dream Island di kota tersebut benarkah keberadaan mereka harus dimusnahkan? Utopian City hanya khayalan. Sebuah kota tak akan pernah benar-benar ideal. Selalu ada pengangguran dan kemiskinan. Lantas masih validkah konsep utopian planning untuk digunakan? Entahlah!

Lalu bagaimana dengan superblock yang notabene di Jakarta diciptakan seideal mungkin seolah kota ideal adalah bentukan superblock skala besar? Lantas perlukah kita membagi kota Jakarta menjadi blok-blok besar yang masing-masingnya dikembangkan sesuai dengan prinsip superblock? Superblock yang bagaimana? Keberpihakan seperti apa yang harus diberikan kepada kalangan “tak punya”? Lebih tepatnya tempat seperti apa yang harus kita berikan kepada mereka kaum miskin? Apa dengan menfasilitasi mereka para kaum miskin tak membuat lebih banyak migran miskin yang datang ke Jakarta lagi? Nah lo, bingung kan?

Sangat dilematis memang ketika kita punya “pilihan” untuk berpihak atau tidak kepada kaum miskin. Berpihak bikin mereka makin banyak, tak berpihak tak membuat mereka hilang hanya membuat planner seolah kehilangan “moral” mereka. Lantas bagaimana dengan solusi membatasi migran masuk sebagaimana yang kerap didengungkan? Sepertinya belum banyak orang yang mampu menyanggah kevalidan solusi ini, hanya saja seperti apa real nya hal ini akan dilakukan? Kebijakan yang seperti apa yang harus digunakan menciptakan kondisi seperti ini? Sebuah dilema yang sangat klasik mungkin. Ah saya juga tak tau kenapa saya menulis ini. Sampai disini saya bingung. Sekian.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar