Sebuah kondisi yang sangat dilematis memang ketika kita berusaha
membangun sebuah kawasan urban menjadi
“kawasan utopia” dimana segala hal diciptakan seideal mungkin. Terlebih jika
kota tersebut merupakan sentra kegiatan perekonomian seperti Jakarta. Disatu
sisi semua orang punya “negeri impian” sendiri yang kadang berusaha mereka
wujudkan dengan rancang kota yang mereka susun, tapi disisi lain kita tak
mungkin menciptakan kawasan perekonomian dimana poverty
has no place! Kemiskinan
akan selalu ada dan masalahnya adalah dimana keberpihakan para planner terhadap
mereka para the have not ini?
Sebut saja kampung melayu dan tanah abang dimana setiap
sudutnya hiruk pikuk dari shubuh hingga shubuh lagi. Pusat kegiatan seperti ini
seolah punya magnet kuat yang menarik banyak pedagang kaki lima, pengemis,
pengasong, pengamen, dan mereka-mereka pencipta citra “kemiskinan” di wajah
kota. Lantas ketika kita merencanakan The Dream Island di kota tersebut benarkah keberadaan
mereka harus dimusnahkan? Utopian City hanya khayalan. Sebuah kota tak akan
pernah benar-benar ideal. Selalu ada pengangguran dan kemiskinan. Lantas masih
validkah konsep utopian planning untuk digunakan? Entahlah!
Lalu bagaimana dengan superblock yang notabene di Jakarta
diciptakan seideal mungkin seolah kota ideal adalah bentukan superblock skala
besar? Lantas perlukah kita membagi kota Jakarta menjadi blok-blok besar yang
masing-masingnya dikembangkan sesuai dengan prinsip superblock? Superblock yang
bagaimana? Keberpihakan seperti apa yang harus diberikan kepada kalangan “tak
punya”? Lebih tepatnya tempat seperti apa yang harus kita berikan kepada mereka
kaum miskin? Apa dengan menfasilitasi mereka para kaum miskin tak membuat lebih
banyak migran miskin yang datang ke Jakarta lagi? Nah lo, bingung kan?
Sangat dilematis memang ketika kita punya “pilihan” untuk
berpihak atau tidak kepada kaum miskin. Berpihak bikin mereka makin banyak, tak
berpihak tak membuat mereka hilang hanya membuat planner seolah kehilangan
“moral” mereka. Lantas bagaimana dengan solusi membatasi migran masuk
sebagaimana yang kerap didengungkan? Sepertinya belum banyak orang yang mampu
menyanggah kevalidan solusi ini, hanya saja seperti apa real nya hal ini akan
dilakukan? Kebijakan yang seperti apa yang harus digunakan menciptakan kondisi
seperti ini? Sebuah dilema yang sangat klasik mungkin. Ah saya juga tak tau
kenapa saya menulis ini. Sampai disini saya bingung. Sekian.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar