Selasa, Mei 10, 2011

Rumah Gadang : Cermin Budaya Tahan Gempa



Rumah gadang yang berarti rumah besar dinamai karena fungsinya yang luas sebagai tempat musyawarah dalam kaum. Dahulunya, jumlah kamar dalam rumah gadang dibangun berdasarkan jumlah anak perempuan dalam keluarga. Anak perempuan termuda menempati kamar  terpojok demikian seterusnya hingga wanita tertua dalam rumah gadang menempati kamar yang paling dekat dengan dapur. Ketika salah seorang anak perempuan, misal anak pertama, menikah pengantin baru biasa menempati kamar paling pojok dan berpindah ketika adiknya, anak kedua, menikah dan menempati kamar terpojok tersebut. Begitu seterusnya. Sedangkan anak lelaki, menginjak usia 11 tahun dahulunya tinggal di surau (musholla yang tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah melainkan juga tempat mendapat pendidikan agama), menimba bekal untuk setelahnya dibiarkan merantau. Biasanya seorang pemuda minangkabau tidak akan pulang sebelum meraih kesuksesan di daerah rantau.

Rumah Gadang (rumah tradisional minangkabau) seringkali disebut ahli sebagai salah satu bentuk arsitektur tradisional yang tahan gempa. Ditilik dari atapnya yang terbuat dari ijuk, material lokal yang murah, ringan, dan ramah lingkungan, memang cocok untuk sumatera barat yang terbilang rawan gempa. Sedangkan dari sisi badan rumah gadang, berbentuk segi empat yang membesar keatas berbentuk trapesium terbalik layaknya perahu yang memperlihatkan kedinamisan badan rumah terhadap goncangan. Jika ditarik garis lurus kebawah, badan rumah akan bertemu di satu titik dalam bumi. Inilah yang diperkirakan dapat meminimalisir resiko ambruk pada rumah gadang ketika terjadi gempa karena guncangan dapat diminamilisir. Bahannya yang cukup ringan terbuat dari kayu ikut meminimalisir resiko tertimpa bangunan saat gempa terjadi.

Lantas kenapa saat gempa 2010 terjadi masih banyak korban reruntuhan yang ditemukan? Hal ini diperkirakan karena konstruksi rumah gadang kini mulai ditinggalkan disumater barat ketika penduduk mulai beralih ke rumah modern. Sekalipun masih ada rumah gadang, biasanya hanya berupa bangunan tua tanpa perawatan berarti hingga banyak mengalami pelapukan dan rawan goncangan sehebat gempa. Selain kembali kepada konstruksi lokal layaknya rumah gadang, sosialisasi jalur evakuasi yang jelas saat gempa masih sangat dibutuhkan. Selain itu, gempa memicu banyaknya longsor terjadi di beberapa titik. Disebabkan oleh digunakannya daerah-daerah dengan kelerengan tinggi sebagai lahan budidaya.

Adapun beberapa rumah tradisional dengan konstruksi tahan gempa adalah :  rumah joglo di Jawa, rumah Gadang di Sumatera Barat, Omo Hada di Nias, rumah Bubungan Limo di Bengkulu, rumah Bubungan Tinggi di Kalimantan Selatan, rumah Lawi di Minahasa dan rumah Honay di Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar