“Sebagian orang butuh ‘pegangan’ yang bikin dia menjadi lebih baik. Tapi sebagian lain tidak.”
Pernah nonton “Letters to God”? Atau “Firework”? Atau malah baca “29 Days Of Giving”? Letters To God menceritakan tentang seorang anak pengidap cancer yang menjadi pejuang Tuhan menghadirkan kasih sayang pada orang-orang disekitarnya, sedangkan Firework menceritakan seorang pria yang bersandar kepada Tuhan ditengah perceraian berat yang dihadapinya. Nah 29 Days Of Giving lain lagi, novel ini mengungkapkan betapa hebatnya kekuatan sebuah pemberian dalam hidup manusia, bahkan bagi seorang pengidap MS yang ‘doyan’ ikut perkumpulan spiritual macam-macam. Tapi ketiganya bagi saya punya satu kesamaan yaitu sama-sama menghadirkan satu pertanyaan dikepala saya : “Kenapa penduduk Negara maju (oke maksud saya amerika dan eropa) sepertinya hidupnya terlalu rumit seolah dihinggapi masalah yang membelit lebih daripada orang-orang yang selama ini saya kenal dilingkungan saya, “kehidupan nyata” bagi saya? Mereka seperti orang dewasa paranoid dan terlalu memikirkan semuanya sampe saya merasa mereka seolah-olah telah melampaui kapasitas berpiir otak mereka?”
Dalam 29 Days Of Giving, si tokoh utama ikut beberapa kelompok sosial-spiritual dalam lingkungannya. Meditasi, yoga, meramal, bahkan punya guru spiritual sendiri. Kalau saja CV mereka diisi kegiatan-kegiatan spiritual yang mereka lakukan mungkin sudah berlembar-lembar. Kenapa demikian? Apa banyaknya komunitas komunitas sosial berbau spiritual ini ada karena emang corak sosial peradaban mereka jauh lebih tinggi dari masyarakat Indonesia? Atau karena sesuatu yang lain?
Akhirnya belakangan saya menemukan jawaban sendiri (versi saya) mungkin beda dengan pendapat teman-teman tapi minimal ini meredakan pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak dalam kepala saya. Saya rasa “perbedaan corak sosial” ini ada karena……Tuhan. Karena perbedaan keyakinan.
Saya ingat seorang teman pernah menjelaskan pada saya satu konsep yang bikin saya cukup terperangah. Dia bilang “Sebagian orang butuh ‘pegangan’ yang bikin dia menjadi lebih baik. Tapi sebagian lain tidak”. Tuhan! Si kawan menyebut Tuhan dengan pegangan. Itulah kenapa sebagian orang menerima konsep ketuhanan dan sebagian lain tidak. Ketika saya Tanya “Lantas jika tuhan ‘tercipta’ sebagai bentuk ‘yang disalahkan’ dari seluruh kejadian alam, lalu siapa yang mengatur keseimbangan bumi?” dan si kawan jawab “Hey! Semuanya sederhana bagi alam semesta! Big bang menciptakan mineral-mineral yang membentuk kehidupan dibumi dan sejarah mencatat semuanya terjadi kedalam beberapa tahapan bukan dengan satu tiupan dan jadilah semua”. Benarkah? Entahlah.
Beberapa hal yang saya benarkan dalam konsep itu adalah: pertama, memang sebagian (bahkan mungkin seluruh) orang butuh pegangan. Dan kedua, adalah memang ada orang yang berpikir “saya nggak butuh pegangan!”. Well, saya tak mau berkeras hati bilang bahwa “SETIAP ORANG BUTUH PEGANGAN!!” atau “BUTUH PEGANGAN BUKAN BIKIN SESEORANG MEMPERCAYAI SATU KONSEP KETUHANAN TERTENTU! TUHAN ADA KARNA DIA ADA, BUKAN KARNA KITA BUTUH “SESUATU” UNTUK BERSANDAR DAN DIPERSALAHKAN”. Entahlah, saya rasa saya belum cukup beriman untuk menyatakan pernyataan kedua. Yeah minimal saya mengakui dan menyadari saya belum punya bekal apa-apa untuk meninjau kembali pernyataan dari si teman tadi.
Yang jelas yang ingin saya ungkapkan dalam artikel ini adalah “Kebanyakan orang merasa butuh pegangan”. Kondisi di Negara maju dimana atheisme diijinkan dan banyak dianut membuat semua orang lantang-luntung mencari pegangan. Dan stress, saya yakin menurut versi saya merupakan satu bentuk real ke’lantangluntungan’ manusia yang dialami ketika manusia tak punya pegangan, tak punya seseorang untuk disalahkan atau seseorang untuk memasrahkan diri, untuk berpikir “saya sudah berusaha! Tapi ada kekuatan lain yang menentukan. Ini bukan salah saya!”. Itulah kenapa di Negara tersebut lebih banyak ditemukan “proses pencarian Tuhan” dalam konsep si kawan kita sebut dengan ‘mencari pegangan’. Terwujud dengan meditasi (proses menenangkan diri dan mencari kedamaian melalui pikiran), yoga (olah tubuh dan pikiran), ramalan (melihat nasib melalui tarot, kartu, dan beberapa hal lain), melakukan pemberian, semua karena kita percaya bahwa ada kekuatan disana. Ada kekuatan yang berasal dari pemberian, membuat kita lebih baik, ada kekuatan pada ramalan, yang membuat kita bisa “mengendalikan kenyataan”, ada kekuatan pikiran dalam meditasi dan yoga, membuat kita merasa damai. Semua hanya wujud dari tuhan-tuhan kecil. Dari mukjizat-mukjizat tuhan. Dari berkah-berkah tuhan. Pada prinsipnya mereka semua telah mengakui sebagian konsep dari ketuhanan, mengakui ada kekuatan besar yang menuntun mereka dan mereka hanya berusaha mencari itu semua sebagai tempat bersandar, berpegangan, dan tempat yang mampu membuat mereka merasa damai.
Well, terlepas dari itu semua saya tak pernah menyalahkan paham setiap orang. Atheis adalah pilihan, begitu juga beragama. Tapi ADA atau TIDAKnya “satu kekuatan maha dahsyat” yang mengatur semua kejadian alam, itu bukan pilihan teman! Pilihan kita adalah “memercayainya” atau “tidak”!
nice article....hehe,,,visit me!!
BalasHapus