Belakangan beberapa kali “terpaksa” bersinggungan dengan sesuatu bernama “ekosisitem”. Awalnya tugas Konservasi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati membahas mengenai komponen –komponen ekosistem dan keterkaitan antar komponen tersebut, seminar tata guna lahan dalam event “poudly green Sumatera” di Fakultas Kehutanan, dan Kuliah Tamu bertajuk “Agropolitan sebagai strategi penyeimbang pembangunan Kota-Desa”. Belajar secuil hal tentang ekosistem (dalam hal ini terkait pertanian dan kehutanan) bikin saya mikir banyak sekali hal yang tidak saya tau (yang ini pikiran biasa deh kayaknya) yang tak biasa adalah pikiran bahwa semakin kita melihat banyak, semakin banyak masalah yang kita temukan, dan semakin banyak pula tanggung jawab yang kita pikul. Iya, Belajar mungkin mengijinkan kita tau banyak, tapi belajar juga bikin kita menemui banyak masalah baru dan tanggung jawab baru atas masalah tersebut. Berikut beberapa hal yang saya dapat dari beberapa hal terkait ekosistem tadi.
1.Ekosistem terdiri dari beberapa komponen penyusun yakninya komponen autotrof (penghasil makanan sendiri), heterotrof (makan dari organism lain), komponen abiotik, dan decomposer ( pengurai ) yang keseluruhannya saling terkait dan saling tergantung. Sebut saja dalam sebuah ekosisitem rawa gambut. Misal : di Riau, lingkungan abiotik rawa gambut mampu mencegah banjir, mencegah penurunan permukaan tanah, menjaga hutan industry, mengikat karbon dari udara, maupun mempertahankan habitat umbrella species (spesies utama yang jika punah maka keberlangsungan hutan akan terancam). Demikian komponen ekosistem saling terkait dan layak untuk dipertahankan
1.Ekosistem terdiri dari beberapa komponen penyusun yakninya komponen autotrof (penghasil makanan sendiri), heterotrof (makan dari organism lain), komponen abiotik, dan decomposer ( pengurai ) yang keseluruhannya saling terkait dan saling tergantung. Sebut saja dalam sebuah ekosisitem rawa gambut. Misal : di Riau, lingkungan abiotik rawa gambut mampu mencegah banjir, mencegah penurunan permukaan tanah, menjaga hutan industry, mengikat karbon dari udara, maupun mempertahankan habitat umbrella species (spesies utama yang jika punah maka keberlangsungan hutan akan terancam). Demikian komponen ekosistem saling terkait dan layak untuk dipertahankan
Kesimpulan : Ekosistem perlu dijaga keseimbangannya. (source : Tugas Konservasi Ekosistem)
2.Harimau sumatera, gajah sumatera, dan orang utan merupakan umbrella species yang mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem di kawasan sumatera, apalagi ketiga jenis ini bersifat endemic dalam artian hanya ada dipulau sumatera. Hal ini melatarbelakangi pentingnya perlindungan fauna di sumatera dan menciptakan sebuah movement (gerakan) konservasi hutan dan harimau sumatera yang dijalankan di 19 Kabupaten di Sumatera. Gerakan ini mempunyai misi selain melindungi habitat satwa langka juga melakukan reboisasi dan memperbanyak jumlah satwa langka terutama harimau sumatera. Kesimpulan : Ada gerakan yang ‘pengen’ konversi lahan menjadi hutan. (source : Seminar Proudly Green Sumatera)
3.Desa sebagai suatu bentuk lahan yang saat ini mempunyai ketimpangan jauh perihal pembangunan dibanding lahan perkotaan dipandang layak disetarakan pembangunannya dengan kota. Dalam hal ini salah satu alternative pengembangan desa adalah berupa agropolitan (pengembangan desa berbasis pertanian). Agropolitan bukan hanya terbatas perihal menciptakan produk pangan sebanyak banyaknya (minimal memenuhi kebutuhan pangan local) melainkan bagaimana menciptakan kawasan agribisnis yang mencakup kegiatan agronomi, agroprosesing (oke yang ini rada lupa istilahnya, yang jelas menciptakan produk dari hasil pertanian), hingga agromarketing. Kesimpulan : butuh konversi lahan menjadi kawasan pertanian maupun industry makanan. (Source : Kuliah Tamu TK 2, Jutap 18 April 2011)
2.Harimau sumatera, gajah sumatera, dan orang utan merupakan umbrella species yang mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem di kawasan sumatera, apalagi ketiga jenis ini bersifat endemic dalam artian hanya ada dipulau sumatera. Hal ini melatarbelakangi pentingnya perlindungan fauna di sumatera dan menciptakan sebuah movement (gerakan) konservasi hutan dan harimau sumatera yang dijalankan di 19 Kabupaten di Sumatera. Gerakan ini mempunyai misi selain melindungi habitat satwa langka juga melakukan reboisasi dan memperbanyak jumlah satwa langka terutama harimau sumatera. Kesimpulan : Ada gerakan yang ‘pengen’ konversi lahan menjadi hutan. (source : Seminar Proudly Green Sumatera)
3.Desa sebagai suatu bentuk lahan yang saat ini mempunyai ketimpangan jauh perihal pembangunan dibanding lahan perkotaan dipandang layak disetarakan pembangunannya dengan kota. Dalam hal ini salah satu alternative pengembangan desa adalah berupa agropolitan (pengembangan desa berbasis pertanian). Agropolitan bukan hanya terbatas perihal menciptakan produk pangan sebanyak banyaknya (minimal memenuhi kebutuhan pangan local) melainkan bagaimana menciptakan kawasan agribisnis yang mencakup kegiatan agronomi, agroprosesing (oke yang ini rada lupa istilahnya, yang jelas menciptakan produk dari hasil pertanian), hingga agromarketing. Kesimpulan : butuh konversi lahan menjadi kawasan pertanian maupun industry makanan. (Source : Kuliah Tamu TK 2, Jutap 18 April 2011)
Beberapa hal yang mengisi hari saya tadi belakangan bikin mikir, semua orang punya visi masing-masing dan punya kepentingan masing-masing yang kesemuanya butuh lahannya masing-masing. Semakin nyata kata-kata dosen yang biasanya terdengar hambar ditelinga saya yang bilang “Banyak kepentingan sementara lahan terbatas!”
Berikut saya gambarkan orientasi, keberpihakan kebijakan dan ruang lingkup ketiga bidang ilmu yang ingin saya bahas hari ini :
Lantas saya kembali berpikir. Kehutanan, pertanian, dan rancang kota, ketiga bidang ilmu ini samasama mengkaji bumi yang sama. Sementara bumi yang sama ini sama-sama menghadapi masalah ledakan penduduk, global warming, dan mengalami penurunan kualitas lingkungan. Lantas ketika kita mereboisasi semua lahan kosong sebagai tuntutan dari global warming, apa sisa lahan mampu tetap menopang kegiatan ekonomi dan menaikkan standar kualitas hidup masyarakat? Lantas ketika kita membuka sekian banyak lahan pertanian bahan pangan baru demi tuntutan ledakan penduduk apa iya itu mampu jaga keseimbangan lingkungan seperti yang dituntut global warming? Enggak kan? Nah lantas yang bingung itu siapa? Jelas planner lah! Yang cakupan keilmuannya lebih luas dan kompleks. Lantas sebagai planner kita mikr dong! Bagaimana dengan prinsip pembangunan yang cenderung “mengkotakan desa” demi tidak ada pemusatan kegiatan dan peluberan kota-kota ke kawasan sekitarnya? Bagaimana dengan prinsip pembangunan yang memeratakan kota dengan desa? Bagaimana dengan prinsip desentralisasi?
Satu hal yang saya anggap cukup penting disini adalah satu pertanyaan (atau pernyataan?) mas mas di seminar proudly green sumatera yang saya rasa cukup “nancep”. Beliau nanya kira-kira “ Kenapa orang-orang kehutanan tu ngotot melakukan reboisasi dan macam-macam, cenderung lebih peduli satwa dibanding manusia yang notabene sama seperti satwa butuh tempat hidup, butuh eksis dalam kehidupannya, butuh memenuhi kehidupan sementara mereka lebih memihak satwa, pengen melestarikan satwa, tanpa mempertimbangkan manusia sebagai makhluk utama yang berperan dibumi?” padahal kaya kata Maltus “Manusia berkembang seperti deret ukur sedangkan bahan pangan berkembang sesuai deret hitung” akan terjadi satu kondisi dimana manusia rela perang memperebutkan bahan pangan dan sumber daya suatu saat nanti. Gejalanya sudah terlihat dari perang Irak Vs Amerika. Si super power ngincar sumber minyak. Nah lo? Jadi harus gimana?
Saya sendiri diajarkan terlalu banyak menggunakan kata efektif dan efisien. Secara teoritis hal ini mungkin merupakan solusi. Pembangunan vertical, efisiensi lahan, peningkatan kualitas hutan, semuanya kedengaran “menjanjikan” dan “menyelesaikan”. Pada prakteknya? Terlalu banyak masalah yang ditimbulkan. Semua hanya menambah kompleks masalah yang ada.
Intinya, secara teoritis saya setuju dengan kata efisiensi. Tapi secara praktis? Saya sarankan TOLONG jangan ada yang egois! Selalu harus ada yang mengalah! Pecinta satwa tolonglah mengalah ketika manusia suatu saat lebih membutuhkan ruang dibanding satwa. Dan pakar pertanian tolonglah mengalah suatu saat nanti jika manusia sudah bisa memanfaatkan ruang lain selain ‘tanah’ dengan harga terjangkau, sedangkan planner TOLONG GUNAKAN HATI DAN MORALITAS KETIKA HENDAK MERUSAK LINGKUNGAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar