Kalau saja punya kesempatan mengingat masa-masa sma rasanya galau dan sangat tidak punya pegangan. Liat “fenomena” ujian nasional, cinta-cintaan anak remaja, dan cara kita bersosialisasi. Benar-benar melambangkan betapa SMA merupakan masa-masa dimana semua yang kita lakukan tak benar-benar punya pondasi kokoh.
Kecemasan berlebihan yang tak berdasar yang saya yakin dimiliki seluruh siswa saat menjelang Ujian Nasional dan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi, sampai seringkali hal ini memicu kita menghalalkan segala cara saat ujian akhir. Saat ini saya tau semuanya tak sepantasnya pernah ada. Kenapa tidak percaya dengan kemampuan sendiri? Standart nilai 4.25 (saat saya SMA) saat ujian bukankah tergolong sangat rendah? Saya bahkan belum pernah mendapat skor sekecil itu saat ujian ujian sebelumnya. Lantas apa yang saya khawatirkan? Lulus dan tidak lulus toh bukan ditentukan oleh menyontek atau tidaknya kita. Kalo mo lulus ya bakal lulus. Kalo enggak ya nyontekpun bakal nggak lulus. Ada kekuatan Maha Besar yang mengatur semuanya. Tapi toh waktu itu saya menyontek. Ini yang bikin saya “galau” belakangan. Perlukah adik-adik saya yang saat ini kelas 3 sma mengulang kesalahan yang sama? Bahkan disaat saya punya kesempatan memperingatkan mereka semua bahwa itu “salah”?
Kedua saat kita pertama kali jatuh cinta. Jatuh cinta pertama kali, mabuk kepayang karna lawan jenis saat SMA tak jarang semata hanya disebabkan tampilan fisik dan ‘keren-kerenan’ semata. Semakin pacar kita ganteng, ngeband, dan anak basket semakin banggalah kita. Semakin pacar kita cantik dan diinginkan banyak orang, semakin berbahagialah kita. Kebanggaan punya pacar juara olimpiade saya yakin tak sebesar kebanggaan saat pacar kita ngeband atau anak basket. *yeah, i really “KNOW” that! Gausah komen! :)* Lantas, hari ini setelah nyaris dua tahun duduk dibangku perkuliahan masihkah seperti itu? masihkah saya merasa “wajar” update status puisi-puisi cinta yang memproklamirkan pada dunia bahwa “Hey! Gue butuh elo! Gue nggak bakal bisa hidup tanpa elo disamping gue! Pelis jangan tinggalin gue” disaat kita masih ada dibangku SMA? Saya tau sekarang saya jawab “Enggak! Nggak wajar!” Saya ingat kata-kata ayah saya dulu saat SMA “Nggak ada orang yang pada akhirnya menikah dengan pacar pertamanya di bangku SMA setelah dia kuliah. Kecuali mereka menikah setamat sma.” Sekarang saya tau beliau benar. Seperti biasanya. Selalu benar. Kuliah mengubah cara pandang kita dalam menilai orang lain. Semua tak lagi terpaku fisik bahkan seberapa keren orang itu. Lelaki dinilai dari tanggung jawabnya, dari kepemimpinannya, dari keberpihakannya, dan dari kesanggupannya menyelesaikan masalah. Wanita dinilai dari kepribadiannya, kerendah-hatiannya, kelembutannya, dan kecintaannya. Lantas apa yang membuat hati kita terpaku pada hanya seseorang saja dimasa SMA pula? Ada yang Maha Dahsyat yang mengatur jodoh kita. Sebelum dia yang memutuskan jangan biarkan hati kita terpaku dimiliki orang lain sampai beranggapan kita tak pernah bisa tanpa ada dia. Lalu, masihkah hari ini saya biarkan adik-adik saya mengalami kegalauan yang sama dengan kegalauan saya dimasa SMA disaat saya punya kesempatan untuk memperingatkan?
Ketiga adalah cara kita bersosialisasi. Jejaring sosial yang belakangan menjadi gaya hidup kita seringkali membuat kita lupa diri akan siapa kita, apa itu jejaring sosial, dan fungsi dari jejaring sosial itu sendiri. Beberapa kali saya dulu keras kepala tiap diingatkan orang tua saya untuk berhati hati perihal update status. Ibu saya selalu bilang ‘Status membuat image baru pengguna account dimata orang lain, lantas kamu mau dicap cewe nggak bener tiap kali menyisipkan kata makian di status kamu?’ saya pikir ‘kalau saya memang memaki kenapa harus berpura-pura baik didepan orang lain. biarlah orang lain mengetahui siapa saya apa adanya.’ saat ini masihkah saya berpikir seperti itu? Ibu saya benar, selalu benar! Terlepas dari image yang diciptakan oleh kekuatan status di account facebook, kata-kata kotor yang seringkali terselip tak hanya menciptakan image buruk, melainkan merupakan “gangguan” yang cukup besar bagi pembaca status anda. Percaya atau tidak membaca kata-kata makian menciptakan kegalauan sendiri bagi pembaca. Rasanya risih dan sangat tidak nyaman, dan lagi ingatkah kita bahwa dunia maya tak hanya bisa diakses oleh PC atau mac rumah kita melainkan setiap orang didunia. Mungkin guru anda, mungkin pacar anda, bahkan mungkin orang tua dari pacar anda, lantas kenapa kita tidak mulai berhati hati?
Hampir dua tahun duduk dibangku kuliah menyadarkan saya akan betapa “galau” dan tidak terarahnya saya dimasa sma. Iya! Saya! Ketiga hal diatas pernah saya lakoni dan saya sesali hari ini. Dan jika saya punya kesempatan kembali mengulang masa sma saya, saya tau saya tidak akan pernah memperbaiki hal tersebut. Karena tanpa itu semua saya tidak akan pernah “belajar”. saya tidak akan pernah tau bahwa “itu semua salah” karena memang tak pernah ada orang yang menceritakan betapa salahnya itu semua seperti yang saya coba lakukan hari ini. Saya tau sma merupakan satu kesempatan dimana kesalahan masih ditoleransi. Sebagaimana tuhan yang masih mengasihi saya bahkan setelah saya melakukan ketiga hal diatas. jadi buat teman-teman terutama yang masih sma tertarik melakukan kesalahan yang sama? atau lebih tertarik untuk melakukan hal yang benar? Saya tau anda punya jawaban sendiri.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar