Bisnis perumahan belakangan menjadi sesuatu yang cukup menjanjikan di Indonesia. Perusahaan Real Estate menjamur dimana-mana seiring tren perumahan mewah booming di tanah air. Selogan “satu banding sebelas” yakninya untuk berinvestasi satu unit rumah di Singapura sama dengan biaya yang dikeluarkan berinvestasi sebelas unit rumah di Indonesia, mampu menarik investasi triliunan rupiah di Indonesia. Bukan hanya dari investor lokal melainkan juga investor asing. Tak cukup sampai disitu bisnis ini mempunyai multiplier effect yang cukup besar dalam industri property lokal. Ditilik dari jumlah PDRB yang dihasilkan, bisnis ini mampu mengambil peran cukup besar dalam perekonomian. Benarkah hanya sampai disitu?
Menjamurnya real estate ternyata tidak berarti membawa angin segar terhadap kondisi perumahan warga. Kebanyakan dari perusahaan ini hanya memproduksi rumah mewah dengan banderol harga ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Hal ini masih belum membantu mengurangi permukiman kumuh yang ada, melainkan menambah rumah bagi mereka kaum borjuis Indonesia. Melirik pasar kelas atas, bisnis real estate berlomba-lomba menghadirkan rumah mewah, besar, fasilitas lengkap, dan punya style arsitektur modern. Dilihat dari material rumah dan property, berapa banyak material kayu olahan bahkan olahan logam yang digunakan? Penggunaan material tak ramah lingkungan secara besar-besaran tentu tak baik bagi keberlangsungan kota dan bumi pada umumnya. Parahnya lagi tren rumah ‘minimalis nan modern’ pada bisnis real estate sering kali melupakan identitas lokal yang dipunya. Padahal, sebagai Negara dengan promosi sektor pariwisata besar-besaran, Indonesia mustinya mampu menjaga dan memperlihatkan budaya yang dipunya masyarakat lokal termasuk dari segi desaign perumahan. Sedangkan pada praktiknya seringkali yang ditemukan justru pembongkaran rumah joglo di jawa dan rumah adat dianggap tidak trend lagi. Padahal, pada dasarnya perumahan modern tidaklah cocok dengan kultur Indonesia yang terbiasa dengan “kampung” dan interaksi antar warga yang “guyub”. Kondisi perumahan cenderung mengurangi interaksi warga dengan minimnya ruang publik, minimnya teras, maupun keberadaan pagar yang sering kali membatasi lahan antar rumah. Tren perumahan modern minimalis bukan hanya mengubah visualisasi disaign perumahan lokal melainkan ikut merubah kultur cara hidup masyarakat yang berkembang sebelumnya. Menyikapi masalah ini baik pemerintah maupun pihak swasta mestinya berpikir bijak tidak hanya melihat sumbangsih bisnis perumahan modern di perekonomian, melainkan ikut mempertimbangkan budaya Indonesia yang makin terkikis dan kesesuaian desain arsitektur tradisional terhadap iklim dan cuaca local sebagaimana yang tertera pada artikel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar