Iseng ngeliat file lama, gue nemu tulisan ini. Isinya tentang liburan gue ke kampung halaman. *Sumatera Barat, Ranah nan Den Cinto* kira-kira 6 bulan lalu. Daripada nganggur kayaknya tulisan ini mending gue post di blog deh! Yuk baca!
Nice Holiday! Tahukah anda liburan kali ini menyadarkan saia akan beberapa hal tentang saia, tentang kampung halaman saia, dan tentang kehidupan?
· Tentang Sumbar dan Kemirisan yang ditimbulkannya.
Senang rasanya kembali ke kampung halaman tercinta. Menginjakkan kaki di Bandara Internasional Minangkabau benar-benar membuat saia bersemangat dan menjadikan rindu kampung halaman semakin menjadi jadi dan meyakinkan diri saia betapa inginnya saia menjelajah mengitari Sumatera Barat tercinta di liburan kali ini. Angkutan kota padang yang seperti biasanya meneriaki tujuan mereka dengan gaya yang khas, bahasa khas minangkabau yang selalu nyaman ditelinga, dan pola transportasi umum kota padang yang ramai, serta matahari yang terbenam lebih sore dikota padang benar-benar menimbulkan sensasi ‘Hellow! INI SUMATERA BARAT’ dikepala saia. Akan tetapi semua kegembiraan itu perlahan memudar dan berganti kemirisan menyaksikan betapa terbelakangnya kota saia ini dibandingkan kota-kota di pulau jawa (apalagi jika dibandingkan standar kota di dunia) terutama di Negara maju. Hiks T_T
Entahlah, setahun di kota Jogja dan kembali ke Sumatera Barat menciptakan kepekaan tersendiri dalam kepala saia menilai beberapa hal mengenai fisik kota. Hal pertama yang saia sadari adalah : BALIHO. Entahlah, kenapa saia merasa baliho yang ada di Kota Jogja sangat berbeda halnya dengan yang ada di Sumatera Barat. Disaat Baliho Kota Jogja meneriaki ‘Back to Bike’ baliho dikota Padang meneriakkan ‘Tolong Jangan Buang Sampah Sembarangan”. OMAIGHAT! Miris banget guee.
Meninggalkan kota Padang saia berangkat ke Kota Solok. Kampung halaman saia. Perjalanan yang biasa saia tempuh selama satu setengah jam malam itu saia habiskan lebih dari empat jam. Tau dong jalan penghubung Solok-Padang yang ‘amazing’ itu! Longsor. Macet. Dan sangat dekat dengan pintu neraka. *Udah deh salah salah dikit masuk jurang lo!* Miris sekali ketika ‘terpaksa’ saia dengar dari bapak bapak supir bus bilang *pake bahasa minang yang kira kira artinya gini* ‘gimana gak macet kalo ini toh satu satunya jalan. Belom lagi truk-truk yang ngangkut kayu, semen cuma punya jam terbang malam dan selalu membawa muatan lebih dari yang seharusnya cuma biar si sopir punya cukup duit buat menghidupi keluarganya. Truk yang muatannya dua ton dengan terpaksa harus mengangkut dua setengah ton dengan jalan yang sangat rawan dan kalo sempat aja salah satu truk mogok truk lain gak bakal bisa lewat cuma karna para sopir butuh menghidupi keluarga mereka masing masing’.
Beberapa hari setelahnya kembali saia menyusuri jalan Solok-Padang bersama salah seorang teman saia (Mahasiswa UI) dan membicarakan betapa daerah kami membutuhkan pemikir-pemikir muda untuk membangun Sumatera Barat. Memperbincangkan bagaimana jika Ibu Kota Indonesia dipindahkan ke Kalimantan, keuntugan, kerugian, dan alternative lain yang bisa dilakukan untuk ‘membantu’ kerusakan yang telah terjadi di Jakarta. Memperbincangkan bahwa fisik kota (lebih detailnya jalan yang kami lewati) merupakan wujud ketidak pedulian pemerintah atas fasilitas umum. Betapa tidak? Dua ato tiga orang siang malam duduk di belokan curam tereak ini jatah jalur kiri jalan atau jalur kanan jalan 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Dan itu salah satu jalur utama provinsi coba! Rekan saia (si anak UI) bilang ‘yo baa lai. Kondisi jalan tu yang lah parah bana. Ka baa lai kecek pemerintah kalo ndak gitu?’ bikin saia mikir “Semakin parah kondisi jalan tersebut semakin membuktikan tak pedulinya pemerintah terhadap sarana transportasi publik” Hellow! Membiarkan jalan tetap dilewati satu jalur seperti ini dengan kondisi yang sangat parah hanya akan menunda kehancuran! Apa harus nunggu jalan itu hancur dulu baru bertindak? Pemerintah mestinya bisa mikir jangka panjang bukan cuma mikir waktu kampanye doank! Kenapa ga bikin jalur alternative, kalo emang ga mungkin karena itu terlalu curam kenapa ga bikin jalan layang? Mungkin biayanya besar tapi cukup layak untuk tujuan yang segitu besar. Dengan gitu selain punya jalur alternative jalan satu jalur ini tetap masih bisa digunakan biar ga macet lagi. Pemerintah sebenarnya nunggu apa sih? Nunggu rusak sampe jalan itu putus dan buntu total baru bertindak? Hhhh.. entahlah. Yaaaahhh kelemahan sumbar saia rasa.
Satu hal lagi yang menandakan betapa terbelakangnya kami jika hanya dibandingkan dengan standar pulau jawa bukan hanya dari fisik kota melainkan juga budaya dan kebiasaan masyarakat terlihat dari Basko Grand Mall. Salah satu mall baru di kota padang. Disana sumpah ya! Miris banget liat petunjuk pemakaian toilet duduk terpampang jelas di tiap bilik toilet. Bilang buat nyiram pencet tombol ini. Buat cebok tarik yang ini! Astaghfirullaah!! Dan saat itu juga saia menyadari niat seorang teman saia yang ingin membentuk Negara Minangkabau tidak akan pernah membawa kami menjadi lebih baik daripada pulau jawa yang Indonesia punya. Tak pernah. Tidak akan pernah.
· Tentang hidup dan Cinta
Diluar konteks liburan, tapi terjadi di masa liburan kebetulan saya waktu itu nonton salah satu episode Mario Teguh Golden Ways bertajuk ‘berdamai dengan masa lalu’ disitu bilang ‘kecintaan adalah penuntun kita kepada jalan hidup kita. Ikuti kecintaanmu maka kau akan menemukan jalan hidupmu.’ Dan satu hal lain yang saya suka dari episode ini waktu Bapak Mario bilang ‘Kesalahan selalu dilakukan dengan keyakinan bahwa kesalahan tersebut adalah benar’.
· Tentang Cinta dan Logika
Percaya atau engga terkadang emosi yang dihasilkan oleh hati memang membahayakan dan dalam mengatasi masalah ada hal lain yang bisa melakukannya lebih baik yaitu Logika.
Kesimpulan :
1. Sebagai provinsi terbalakang Sumatera Barat tak akan pernah lebih dari pulau jawa jika pembangunan hanya mengalami percepatan yang konstan dan tidak terjadi perubahan besar-besaran.
2. Minimnya pemikir yang berjuang untuk sumbar bertanggung jawab atas keterbelakangan sumbar.
3. Keterbelakangan sumbar bukan hanya dari segi manajemen fisik kota melainkan juga kebudayaan masyarakat belum berkembang kearah positif.
4. Karakter masyarakat merupakan masalah utama Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar