Bermula dari suatu hari ketika saia
sebagai anak kost pengen ngirit tapi tetap pengen makan enak berjalan menyusuri
Jalan Kaliurang Yogyakarta di bagian penggal depan Kopma UGM, saia mencoba
beberapa warung warung tenda Pedagang Kaki Lima yang biasanya tak terjamah oleh
saia (Karena saia selalu menjamah Hollywood tentunya,Hollywood itu nama salah
satu warung PKL disitu) berawal dari semua umpatan saya tentang kualitas rasa
dan ketidaksesuaian harga, saia menjadi mengerti kenapa ‘McDonaldisasi’
(hiaaaahh.. istilah Bapa Tesos Banget) maksudnya maraknya produk luar negeri
merajai pasar Indonesia dalam konteks makanan tentunya seperti McD, KFC, dan
teman temannya menjadi sesuatu yang bisa dikatakan merupakan ancaman bagi
perekonomian bangsa kita!! (djiaaahhh.. lebay banget! Ga usah perekonomian
bangsa de! Diganti sama masa depan Pedagang kaki lima ‘yang nantinya disingkat
jadi PKL’ aja. Yaahhh gimanapun sector informal seperti PKL ternyata banyak
membantu kehidupan rakyat Indonesia Kaaaaannn!)
Nah dari sepenggal perjalanan
saia tadi saia mengambil kesimpulan bahwa Indonesia menjadi objek empuk
McDonaldisasi karena minimnya pendidikan dikalangan subjek Sektor sector
informal. Dan saia berani menjamin diantara beberapa PKL yang saia kunjungi
tadi (saia pada akhirnya telah mengunjungi seluruh PKL di penggal jalan
tersebut) tak pernah dari mereka yang diberikan pengetahuan kewirausahaan yang
menawarkan WIN_WIN Solution sebagai suatu prinsip dalam perdagangan (selain
Hollywood). Yang benar saja! Mereka member tarif 15 ribu rupiah untuk semangkuk
sup buntut DI KOTA YOGYAKARTA. Oke mungkin itu beda halnya dengan padang
ataupun Jakarta yang segalanya mahal. Gila, Jogja kan murah banget. Padahal
supnya juga ga enak. Ga enak dimata dan ga enak dilidah. Plus ga enak disaku.
Yaaahhh kita tahu nikmatanya makanan bukan Cuma di lidah tapi dari mata, turun
ke hidung, baru deh turun kelidah dan mereka Cuma dapat nilai 6.5 untuk itu.
Dan disebelahnya, (yang jual burger, pizza, dan hot dog) mereka menarifkan 7
ribu rupiah untuk sepotong Hot Dog dengan sosis yang ukurannya ga sebesar
sosis yang akan kamu dapatkan dari Mister Burger. Dan berani bertaruh setiap
orang pasti merasa lebih menang beli Beef Burger hanya dengan menambah seribu
rupiah di Mister Burger dan mendapatkan ‘sesuatu’ yang bisa bersaing dalam rasa
dan of course porsi yang jauh lebih besar serta ‘label’ merk mister burger gede
yang bikin bangga yang makannya. Heellllooooww…. Pedagang kaki lima hari ini
seolah khawatir akan keberlangsungan mereka dan menciptakan lingkaran setan
yang pada akhirnya membahayakan mereka sendiri. Bayangkan mereka tu seolah
‘hari gini dengan banyaknya saingan (bukan Cuma PKL tapi juga merk luar negeri)
gua bisa bertahan ga ya? Gua butuh tariff yang mahal buat bisa eksis’ dan pada
akhirnya mereka memang masih bisa eksis tapi tanpa laba, tanpa laris, tanpa
langganan. Dan saia bisa bilang untuk jangka pendek kamu makan disana bener de
yang satu win yang lain game over de! Hehe... ujung ujungnya mahal -> langganan
kabur-> naik harga lagi biar bisa tetap eksis. Itu jadi semacam siklus yang
ga berhenti. Kapan mereka bisa memberikan kualitas dan menuai kesuksesan? Yah
daripada makan di PKL mahal gitu siapa juga yang ga merasa lebih menang makan
di McD ato KFC ato makanan makanan luar lain? Wajar aja kalo anak anak jogja
itu terbiasa dengan gaya hidup MrBurgerlisme, McDonaldlisme, BigBurgerlisme,
KFCisme (walopun nyarinya Cuma attack), dan sekarang Hokbenisme!!! Padahal
berani jamin deh! Lidah Indonesia tuh lebih doyang sop, bakar bakaran,
penyetan, pepes, dan yang lainnya dibanding makanan jepang dan asia timur lain
yang lagi marak, ataupun burger burgeran. Tapi kesombongan Indonesia yang milih
KFC, McD, dan lain lain yang emank ngasih WIN WIN solution tadi. Okelah KFC
lebih mahal dari makanan tradisional tapi kalo kamu makan ayamnya (walaupun
CUMA ayam goreng tepung) brasa kan bedanya? Mereka berani jual mahal karena
berani ngasih kualitas nah PKL PKL malah takut duluan. Tiru tuh Hollywood. Ga
pernah sepi. Ngantri de kalo mo makan, tapi tetap aja rame. Gimana enggak mo
makan ayam bakar aja boleh milih sendiri potongan daging yang kamu mau, boleh
milih sambel mana yang kamu pengen makan, padahal potongan mana aja yang kamu
makan ya tetap aja enak. Intinya Cuma buat kesenangan pelanggan aja.
Secara psikologis udah milih walaupun
pilihannya toh sama aja bakal ngasih kesenangan kan? Beda lagi dengan sambel
(yang keanya emank nilai jual warung ini) mereka sengaja menciptakan pilihan
pilihan rasa. Ada sambel bawang, sambel tomat, sambel terasi, dan laen laen.
Ditambah lagi PRnya! (Maksudnya Public Relation!! Haha belagu banget.. yahhhh
sebut saja orang yang berurusan dengan konsumen kea misalnya kasir, ato kamu
makan disana dan pengen mesan) ramah banget, tampangnya juga bersahabat. Lagi
lagi mereka menggunakan efek psikologis. Trus lagi harga standart maann!!!
Untuk menikmati layanan layanan tadi toh kamu ga harus bayar mahal tapi tetap
dapat KUALITAS OK. Dan akhirnya langganannya dimana mana kan? Nah itu baru WIN
WIN solution. Pelanggan menang pedagang menang. Kedua belah pihak diuntungkan.
Dan keuntungannya ga Cuma bersifat ‘pelanggan kenyang pedagang dapet untung’
doank. Tapi pedagang dapat langganan dan usaha mereka ga bakal keder de selagi
masih mempertahankan kualitas rasa itu tadi. Nah, liat kan! Pedagang itu bahkan
sebenarnya lebih menang daripada pelanggan. Dan itu benar benar cita rasa
Indonesia banget. Hehe.. J makanya jadi PKL kok Cuma pengen bisa
eksis kalo bisa lebih untung? Hayo PKL PKL Indonesia. Tantang terus arus
globalisasi yang efeknya kemana mana menjajah Negara Negara dunia ketiga.
Perekonomian kita bisa bertahan hanya dengan sedikit pendidikan dan keberanian
menghadapi dunia. Jangan biarkan mereka menjajah pasar kita! Merdeka! Hidup
Produk Indonesia! Pertahankan cita rasa Indonesia! Jadilah berkarakter
negaraku!! CINTA PRODUK DALAM NEGERI! ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar