Manusia adalah apa yang pengalaman berikan
Yak buat yang udah familiar dengan kata-kata diatas memang berkali-kali saya dibikin ‘ngeh’ dengan keberadaan kalimat itu dan berkali-kali juga jadi opening tulisan di blog ini. Hehe.. J
Satu hal yang bikin saya mikir ‘eh?’ belakangan adalah diskusi beberapa waktu lalu dengan pembimbing KP soal moda transportasi yang ‘rada’ dilematis di Bali. Saat pariwisata menjadi sektor basis perekonomian disini, Pulau Bali bahkan belum mampu menyediakan moda transport public yang memadai. Padahal ‘mobilitas’ mestinya menjadi sesuatu yang vital dalam kepariwisataan. Anehnya, menjamurnya rent car dan rent bike disana sini bikin permasalahan transportasi ini menjadi seolah ‘adem-adem’ saja dimata masyarakat. Apalagi hal ini ikut menjadi salah satu sumber pendapatan publik yang cukup besar. Permasalahan minimnya transport public menjadi tertutupi dan seolah sah-sah saja. Lantas sampai kapan hal ini akan berlanjut? Sampai macet? Sampai jalanan penuh kendaraan pribadi? Atau sampai emisi karbon menutupi seluruh atmosfer pulau dewata? Kesimpulannya, memang benar pulau dewata butuh sistem trasportasi public yang baik SECEPATNYA.
Nah saat diskusi bareng pembimbing, saya jadi makin ngerasa gak ‘match’ berada disini. Dengan kepala saya yang isinya rada sosialis, berada di lingkungan serba kapitalis seperti ini bikin saya rasa-rasanya menentang sebagian besar apa yang pembimbing bilang.
Ceritanya waktu itu saya pengen nanya sama pembimbing solusi real yang mungkin dilakukan mengatasi permasalahan transportasi pulau dewata. Nah si pembimbing jawabannya ‘ideal’ banget. Kasarnya si pembimbing pengen menciptakan sistem transportasi persis seperti yang ada diluar negeri khususnya Singapura dan Eropa. Intinya pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi lewat e-KTP, ngerubah mindset masyarakat Bali soal ‘bangga punya kendaraan pribadi’, MRT, dan penghancuran massal kendaraan berusia lebih dari 5 tahun. Well, rasa-rasanya solusi ketiga dan keempat belum bisa saya pahami lebih lanjut.
MRT butuhkah Bali? Oke misal emang butuh nih. Operasional MRT bukan tak butuh biaya yang besar. Lagipula saya rasa untuk Bali yang memang belum punya basic apa-apa soal public transport rasanya terlalu jauh untuk berpikir MRT. Langkah yang terlalu ekstrim ditengah kondisi sosial yang ‘pasti’ akan bergejolak dengan pengadaan sistem transport massal yang baik. Dan pembimbingnya bilang saya psimis loh. Dan gak akan maju loh. L Well bukannya gak butuh MRT tapi BELUM sesuai diklasifikasikan sebagai solusi ‘real’ yang bisa diterapkan saat kondisi seperti ini. Mungkin nanti perlahan lahan bisa menuju kesana. J
Oke berikutnya penghancuran massal kendaraan berusia lebih dari 5 tahun. Meeeeeeennn. Itu lebih ekstrim lagi. Bayangin bokap masing-masing petani nih misalnya. Susah payah punya satu truk atau pick up deh yang dipake jualan beras buat ngangkut kemana-mana. Dan setelah 5 tahun seenaknya aja diancurin pemerintah. Itu kebijakan yang gak mendukung ekonomi kerakyatan banget! Kasian men rakyat kecil. Mau diapain anak-anak kecil mereka? Dan waktu saya bilang kebijakan itu gak bagus buat ekonomi kerakyatan bapaknya malah bilang ‘Gak bakal maju kalo terlalu kasian rakyat kecil. Kalo kita merasa kita punya solusi, regulasinya harus ketat. Nanti mereka akan menyesuaikan. Begitu kalau mau maju.’ Yak sampai sini saya mulai galau. Haruskah memberi ‘neraka’ bagi kaum marginal supaya mereka mau keluar dari kondisi yang serba terbatas atau kasihanilah mereka, beri mereka standar hidup yang layak, dan santuni mereka? Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz… Yang jelas si pembimbing menjadi demikian memang karna pengalaman ngasih beliau kesempatan jadi developer. Memang dituntut untuk berpikir profit oriented dan tidak bersentuhan dengan kaum marginal.
Satu hal lagi yang rada ‘eh?’ tadi sempat survey salah satu kawasan yang udah dikontrak investor di Nusa Dua Resort. Konon sejak 1998 disana dibangun 100-an villa tapi karna beberapa alasan sampai saat ini villa-nya masih belum beroperasi. Berarti sekitar 14 tahunan. Nah karna terus didesak pihak yang punya lahan, pembangunan disana dilanjutkan kembali. Masalahnya trend pasar waktu itu dan sekarang sudah berubah. Villa udah gak laku lagi. Konsumen lebih suka nginep di kamar hotel sekarang. Jadilah si investor ngerombak konsep dan meruntuhkan 100-an villa yang biaya pembangunannya masing-masing 700-an juta. Dengan kata lain ganti konsep bikin rugi sekitar 70 milyar tapi tetep aja dikerjain. Orang bisnis gitu yaaa. Biar mengorbankan biaya yang besar untuk dapat keuntungan yang jauh lebih besar dibanding tidak mengorbankan apa-apa dan tetap mendapatkan sesuatu dalam jumlah kecil. Kalo pengen belajar menjadi BERANI dan gak setengah-setengah silakan belajar ke orang bisnis. Sesuatu banget. -________-
haha... betul betul betul.. haduuh vi.. ayo pertahankan ke "perawanan" nya.. sampe jogja yaaah
BalasHapus:)
BalasHapus