Keadilan dan kemerataan sebagai suatu konsep yang dijunjung tinggi para pelopor Hak Asasi Manusia (HAM) dunia memang bukan lagi perihal baru, hal ini telah mendapatkan perhatian lebih masyarakat sejak abad ke-17. Instrument-instrument penting terkait didalamnya sebut saja gender, ras, dan suku belakangan ikut menjadi suatu isu yang marak didengungkan aktivis HAM seluruh dunia. Sebut saja masalah warna kulit mewarnai satu perkembangan penting politik di Amerika, sukuisme yang kerap masih saja menjadi problem di Indonesia, serta perihal gender yang mewarnai sejarah penting bangsa bahkan mewarnai satu hari di tiap kalender kita sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan meneriakan emansipasi wanita setiap tanggal 21 April.
Meskipun permasalahan gender sudah bisa dikatakan “isu klasik” dikalangan masyarakat sejak RA Kartini mendapat perhatian besar dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”nya, hingga saat ini permasalahan ini bahkan belum bisa dikatakan ‘terselesaikan’. Sebut saja saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden RI masih banyak pihak kontra dengan alasan gender. Emansipasi wanita yang berlaku saat ini masih sangat bersifat simbolik dan teoritis. Pada prakteknya tak hanya Negara, bahkan untuk menjadi pemimpin ORMAS (Organisasi Masyarakat) wanita masih disepelekan kedudukannya. Belum lagi saat seorang wanita dianggap mencapai satu titik yang tinggi (baik perihal pendidikan maupun karir) malah membuat si wanita tersebut susah mendapatkan jodoh. Anggapan bahwa wanita selalu berada dibawah kaum laki-laki ini lah yang masih sangat kental dikalangan masyarakat. Lantas sebagai salah satu agama yang berkembang di Indonesia yang bahkan merupakan agama terbesar, bagaimana islam memandang kesetaraan gender dan wanita sebagai objek yang seringkali ditindas? Benarkah islam malah menjadi penghalang bagi emansipasi wanita dengan segala aturannya yang seolah “mengekang” wanita?
Dalam perkembangan islam ditengah zaman jahiliyah, konsep ini menghadirkan satu tatanan masyarakat baru dengan aturan-aturan yang berpedoman kepada Al Quran dan Hadits. Salah satu hal baru yang ditekankan disini adalah bagaimana memperlakukan wanita dan bersikap sebagai wanita. Al Quran bahkan menempatkan satu dari 114 surat yang dimilikinya, seluruhnya membahas aturan-aturan terkait wanita dengan nama surat An Nisa yang berarti wanita. Demikian keberpihakan islam menempatkan wanita sebagai bagian penting pembentuk peradaban.
Beberapa aturan-aturan baru yang sifatnya mengangkat martabat perempuan mulai bermunculan. Aturan pernikahan dengan khitbah dan larangan perzinahan kemudian muncul dianggap sebagai satu bentuk pengekangan terhadap perempuan, padahal faktanya hal ini merupakan satu bentuk “keberpihakan” islam terhadap wanita. Aturan talaq dan cerai serta pernikahan kembali setelah talaq menciptakan tatanan baru dan menempatkan wanita kedalam satu posisi yang jelas dan tidak terinjak-injak sebagaimana sebelumnya. Berikut beberapa firman Allah berusaha meninggikan derajat wanita:
"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)
Demikian islam menjaga wanita-wanitanya dari orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya. Adapun pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama dimata Allah dijelaskan oleh ayat berikut :
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan...” (Ali Imran: 195)
"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl: 97}
Ayat ini menjelaskan bahwa tak ada perbedaan dimata Allah perihal gender. Baik pria maupun wanita keduanya dijanjikan kehidupan yang baik dan pahala bagi setiap amal yang dikerjakan. Lantas bagaimana dengan bekerja? Benarkah wanita tak diperkenankan bekerja diluar rumah layaknya pria? Benarkah islam membatasi beberapa hak-hak kaum wanita?
An Nahl 97 ini menyatakan bahwa tak ada perbedaan bagi pria dan wanita mengerjakan amal saleh termasuk juga bekerja. Rasulullah semasa hidupnya bahkan mengizinkan wanita membentuk satu majlis atau forum sendiri untuk berdiskusi dan saling bertukar pendapat. Hal ini memperlihatkan bahwa wanita punya hak berbicara yang sama dalam islam. Selain itu, dibeberapa kondisi seorang wanita memang diharuskan bekerja untuk menghidupi keluarganya, dewasa ini mungkin terlihat berupa single parent yang memang menjadi kewajibannya untuk menafkahi keluarga. Hal ini dibolehkah dalam islam. Apalagi di bidang-bidang tertentu dimana peran kaum wanita memang dibutuhkan seperti sebagai perawat atau tenaga pengajar.
Adapun beberapa batasan ketika wanita diperbolehkan berkarir adalah dengan syarat sang wanita masih mengerjakan pekerjaan yang halal, tidak melalaikan tugas mereka dalam mengurus keluarga, maupun tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan islam dalam mengatur posisi wanita. Seperti sebagai contoh seorang pekerja salon khusus pria. Resiko bersentuhan dengan pria bukan muhrim menyebabkan profesi seperti ini tidak dibenarkan dalam syariat islam. Terakhir wanita diperkenankan berprofesi sebagaimana pria asal sesuai dengan batasan-batasan fisik yang dimiliki oleh wanita.
Lantas masih berpikir islam membatasi kaum wanita berkarya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar