Di planet Aarick dimana semua penduduk punya akses yang sama kepada pendidikan, seluruh masyarakat sangat menghargai museum. Konon mengetahui negeri maju atau tidaknya dapat dilihat dari koleksi-koleksi yang ada di museum mereka. Semakin banyak jumlah dan keberagaman jenis koleksi mereka, maka negeri itu dianggap semakin menghargai sejarah yang merupakan tonggak perkembangan ilmu pengetahuan. Seantero planet, penduduk percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah puzzle. Ketika kita menemukan salah satu bagiannya, maka akan lebih mudah menemukan bagian yang lain hingga tercipta satu bentuk indah yang tersusun dari komponen puzzle yang ketika berserakan tak punya makna. Begitu juga ilmu pengetahuan. Satu penemuan akan membawa kita kepada penemuan lain hingga tercipta tatanan kehidupan yang indah berbasis pada ilmu pengetahuan.
Tersebutlah sebuah negeri bernama Moses, negeri super power di planet Aarick, punya koleksi museum paling lengkap dan ilmuwan paling pintar. Setiap penemuan mereka abadikan di museum mereka. Ada museum botani, elektronika, batuan alam, sejarah kota, hingga museum berisi patung tokoh-tokoh pergerakan dunia politik mereka. Semua dipamerkan dan segala info keterangan dari tiap-tiap penemuan berupa tata cara perakitan robot pekerja, pola perkembangan dan penataan kota-kota kuno, strategi bisnis dan lobby pakar ekonomi, serta keterangan lain bisa diakses hanya dengan satu tombol dipojok kiri koleksi yang dipajang. Film-film yang menampilkan perjuangan-perjuangan tokoh-tokoh mereka dapat diputar tiga dimensi seolah penonton ada bersama sang ilmuwan ketika sebuah penemuan diciptakan. Seolah penonton ada bersama raja mereka yang otoriter ketika perang terjadi. Seolah penonton ada bersama para astronot ketika mereka mendarat di planet lain. Membiarkan penonton berimajinasi dan menyemai benih-benih mimpi di alam sadar penonton untuk bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dan lebih bernilai. Sejarah dan ilmu pengetahuan disampaikan lewat cara mereka yang menggugah mimpi dan membakar semangat pengunjung museum. Ketika guru hanya berfungsi sebagai media tempat bertanya dan tempat berbagi impian para siswa, penyampaian ilmu berbasis cyber-education di museum yang notabene mampu diakses mereka kaum yang tak terjaring pendidikan formal, pada akhirnya mampu menarik minat penduduk Moses dan menciptakan penemu-penemu baru yang menghargai sejarah. Lantas mustahilkah Moses itu dikenal bernama Indonesia?
Artikel ini disusun untuk mengikuti Lomba Blog Technocorner yang diadakan KMTE UGM 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar