Duduk di kelas XII salah satu SMA Negeri di bilangan Sumatera Barat membuat saya mulai berusaha menggambar masa depan saya dan bertanya pada diri sendiri akan jadi ‘siapa’ saya kelak. Saya bungsu dari dua bersaudara. Ibu kami merupakan seorang guru di sebuah Sekolah Dasar Negeri. Mempunyai ibu seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) membuat saya setiap hari selalu disuguhi berita-berita hangat tentang betapa korupnya sekolah tempat ibu saya bekerja. Betapa beliau jengah dengan semua itu yang lucunya dilakukan bersama sama mulai dari pejabat pendidikan kelas tinggi di Kabupaten hingga guru kelas di SD tempat ibu saya bekerja. Mereka mungkin bisa dikatakan koruptor kelas ‘ecek-ecek’ atau kelas rendah di bahasa saya sehari-hari. Yang mereka gelapkan dana-dana opesaional program-program kecil seperti dana paket A yang diberikan tiap sekolah. Melihat betapa ‘tak bisa apa-apa’nya ibu saya berada disebuah system yang salah membuat saya mencoret ‘pegawai negeri dan pegawai pemerintahan’ dari daftar pekerjaan yang akan saya lakukan bahkan lebih dulu dari profesi lainnya. Sedemikian saya tak suka dengan profesi pegawai negeri dan pegawai pemerintahan. Bukan saya tak ingin merubah semuanya atau saya takut terjerumus juga di system yang salah tersebut, yang saya takutkan adalah suatu saat justru saya yang akan ‘terseleksi alam’ dari sistem tersebut. Dengan kata lain ketika kita tak bisa hanya diam melihat tindak korupsi disekitar kita maka posisi kitalah yang akan terancam ditengah massa yang sama-sama korup.
Hari ini saya kuliah di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada. Sebuah universitas yang dikenal sebagai kampus rakyat dan mempunyai banyak lulusan yang terjun langsung mengabdi di masyarakat. Lebih lagi ditambah prodi saya seolah berusaha menciptakan lulusan yang berorientasi kepada pegawai negeri. Di kelas kami mempelajari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), jangka waktu penyusunannya, teknik penyusunan RTRW, dan apa saja yang dibutuhkan demi mencipktakan kota yang lebih baik dan meningkatkan Quality of Life penduduk. Ditambah lagi berada dilingkungan dimana semua orang bercita-cita menjadi walikota, wakil presiden, ketua BAPPENAS, atau konsultan pemerintah membuat saya berpikir ulang tentang pegawai negeri dan pegawai pemerintahan. Bertemu IFL dan beberapa gerakan pemuda lain seperti di www.indonesiakreatif.net (gerakan entrepreneur muda Indonesia), http://www.indonesiamengajar.org/ (gerakan pemuda pengajar yang menjadi volunteer dunia pendidikan dibeberapa daerah di pelosok Indonesia), dan beberapa gerakan sejenis lain membuat saya tau bahwa bukan mustahil kita bisa merubah sistem Indonesia yang menurut versi saya ‘kacau’ belakangan. Bukan mustahil untuk kita bersama menciptakan Indonesia yang lebih berpendidikan, Indonesia yang lebih diperhitungkan, atau Indonesia yang punya daya saing dengan Negara lain. Bukan mustahil menciptakan Indonesia yang benar-benar ‘baru’ dan ‘fresh’. Indonesia yang tak lagi punya budaya aneh seperti korupsi dalam system mereka. Semuanya tak akan mustahil jika dilakukan bersama-sama dan saya yakin masih ada lebih banyak pemuda lagi yang bervisi sama dengan IFL atau beberapa gerakan lainnya. Masih ada sangat banyak peluang dan yang perlu kita lakukan adalah beraksi, bertindak, dan mengajak orang lain yang ada disekitar kita. Bayangkan jika Indonesia mempunyai 20 gerakan pemuda seperti IFL yang berskala nasional dan masing-masingnya mempunyai minimal 40 orang bertindak didalamnya. Akan ada 800 pemuda yang akan ikut andil memperlihatkan aksinya membangun Indonesia. Kalaulah Ir Soekarno bilang “Berikan aku 10 pemuda, maka aku akan mengubah dunia”. Bagaimana dengan 800 pemuda? Masih psimiskah kita bisa merubah Indonesia? Yuk mari tunjukkan aksi kita! Tunggu apa lagi mari mulai dari saat ini!
Dan terakhir untuk orang-orang seperti saya, Merubah system di Indonesia mungkin saja dilakukan tanpa harus jadi pegawai negeri!
Lihat juga tulisan ini di http://indonesianfutureleaders.org/?p=2899
Lihat juga tulisan ini di http://indonesianfutureleaders.org/?p=2899
Tidak ada komentar:
Posting Komentar