Rabu, April 06, 2011

Cemeti Art House Yogyakarta: Cermin Arsitektur Kontemporer Indonesia

Sekalipun kata ‘kontemporer’ kerap disejajarkan dengan modern, kontemporer diartikan sebagai suatu karya arsitektur yang inovatif, baru, khas, dan berbeda. Baik dari segi visualisasi design, keberlanjutan, corak atau motif yang dimiliki, maupun ke-high techno-an suatu karya arsitektur.

Pada masa colonial Belanda style arsitektur Indonesia seringkali dipengaruhi oleh penjajah colonial sesuai dengan kepentingan mereka menggerogoti kekhasan ragam budaya Indonesia. Sekolah arsitektur pertama Indonesia yakninya ITB ( Bandoeng Technische Hoogeschool ) pada Oktober 1950. Awalnya dimulai dengan 30 siswa dan tiga staff pengajar yang ketiganya berkebangsaan Belanda. Dalam hal ini corak arsitektur yang diajarkan sangat dekat dengan materi Delf Universiteit Belanda yakni arsitektur kuno belanda yang notabene beriklim subtropik.

Dalam perkembangannya, Indonesia menemukan kembali ‘nafas’ arsitektur kontemporer Indonesia pada tahun 1955 semasa ITB dibawah pimpinan V.R. van Romondt DIsadari kemudia bahwa arsitektur bukan segedar garis, warna, dan bangunan, melainkan cerminan budaya dari masyarakat local. Hal ini membawa perkembangan arsitektur kontemporer Indonesia kemudian yang mulai mengadaptasikan nilai-nilai local terhadap paham modernism.

Arsitektur kontemporer Indonesia berkembang pada tahun 1990-an ketika inovasi dan modernisasi design mulai diperhatikan di Indonesia. Beberapa penghargaan dikeluarkan IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) terhadap bangunan bangunan inovatif baik dari segi design, keberlanjutan, maupun teknologi dalam rangka memperkenalkan dan mengarahkan perkembangan style arsitektur kontemporer Indonesia.

Cemeti Art House Yogyakarta 

Cemeti Art house adalah salah satu rumah seni yang terkenal di Yogyakarta didesign oleh salah seorang arsitek Jogja yakni Eko Prawoto. Style arsitektur Cemeti Art House yang biasanya digunakan memajang hasil karya seni artist Jogja didesign sesuai dengan keragaman budaya masyarakat yang tinggal di Yogyakarta. Tempat ini ‘menyambut’ visitor dengan pendopo sebagai symbol keramah tamahan kota Jogja. Sekilas dari luar sudah terlihat bahwa bangunan ini merupakan cermin budaya jawa. Ruang ini juga menjadi penanda bahwa seni khususnya design arsitektur bisa saja bersikap “medekatkan diri dengan lingkungan sosial budaya” dan seni bisa dibangun dengan tetap berakar pada kebudayaan lokal.

Pendopo di Cemeti Art House juga dibangun dengan kayu, dan beratap bamboo. Bahan khas local yang tak perlu didatangkan dari negeri lain. Jika pendopo dibangun dengan mengadaptasi bentuk joglo yang diinspirasi dari budaya tradisional, maka bentuk ruang perantara dan ruang pamer utama mengambil konsep industrial modern. Ruang pamer dibentuk dengan dinding berwarna putih polos. Digunakan warna putih dan tidak diberi aksen apapun agar ruang bersikap “netral”, dan ruangan ini dapat digunakan semua artist dengan ‘aliran’ apapun.Pencahayaan juga dibuat sealami mungkin dengan pencahayaan langsung dari luar dengan bukaan semaksimal mungkin. Lantai ruangan secara keseluruhan menggunakan ubin berwarna kuning dan bukan keramik. Dua wajah arsitektur di Cemeti, kontemporer dan industrial inilah yang menggambarkan kedinamisan budaya yang terjadi di Yogyakarta. 

Pameran @ Cemeti Art House


Interior Cemeti Art House


Cemeti Art House dengan ubin dan dinding putihnya


Sumber :
http://atelierriri.com/blog/?page_id=33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar