Senin, Oktober 04, 2010

Aksesibilitas Difabel Jogjakarta


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
                Menjadi difabel ditengah masyarakat yang menganut paham ‘normalisme’, paham pemuja kenormalan, dimana semua sarana umum yang ada didesain khusus untuk ‘orang normal’ tanpa adanya fasilitas bagi difabel adalah sangat sulit. Dipandang kasihan atau tidak dianggap dalam bermasyarakat adalah sesuatu yang acap kali kita lihat dilingkungan difabel. Bahkan pusat rehabilitasi sekalipun diciptakan menjadikan mereka ‘berbeda’ dengan orang lain. Terlebih dengan sebutan ‘rehabilitasi’ difabel disetarakan dengan para pecandu narkotika dan obat obatan terlarang seolah mengalami kecacatan adalah sebuah penyakit yang harus segera diobati. Akan tetapi benarkah menjadi difabel adalah setara dengan digerogoti penyakit? seseorang yang memang diciptakan dengan satu ‘perbedaan’ oleh Sang Pencipta mungkin tidaklah membutuhkan rehabilitasi melainkan lebih membutuhkan persamaan derajat dan pengakuan dari lingkungannya.
Dalam hal aksesibilitas, ketersediaan sarana dan prasarana ramah difabel saat ini masih sangat terbatas di Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta khususnya. Aksesibilitas difabel yang dijanjikan pemerintah dalam UU No 4 th 1997 pada prakteknya tetap saja belum mempermudah akses pergerakan mereka. Beberapa sarana umum yang dibangun dengan mempertimbangkan difabel bahkan pada pelaksanaannya masih saja menyulitkan mereka. Tempat ibadahpun bahkan masih belum ramah terhadap keberadaan para difabel. Untuk itu penulis merasa tertarik membahas tentang peranan perencana dalam menjamin aksesibilitas difabel dimana fungsi seorang perencana sendiri adalah menjamin ruang gerak dan eksistensi segenap lapisan masyarakat. Sebagaimana trotoar dibangun untuk menjamin pergerakan pejalan kali dan ruang terbuka hijau ada untuk menjamin eksistensi rakyat kelas bawah. Perencanaan Wilayah dan Kota adalah bidang ilmu yang bertanggung jawab dalam hal tersebut. Menjamin kesejahteraan rakyat melalui ruang dan kebijakan kebijakan tertentu termasuk menciptakan ruang yang baik bagi perkembangan psikologis difabel. Tak dapat dipungkiri lagi perencanaan pembangunan yang ada ditangan para perencana merupakan penanggung jawab akses difabel terhadap fasilitas umum dan ikut andil dalam perbedaan pandangan dan perlakuan yang marak dimasyarakat terhadap difabel.
I.2 Permasalahan
                Beberapa masalah yang akan penulis bahas dalam laporan ini adalah:
·         Bagaimanakah aksesibilitas difabel dipandang hukum yang berlaku di Indonesia?
·         Bagaimana fasilitas fasilitas umum menjamin aksesibilitas difabel khususnya di kota Yogyakarta?
·         Bagaimana difabel dipandang dalam kehidupan?
·         Bagaimana peranan difabel dalam berpolitik, perekonomian, dan kehidupan social?
·         Bagaimana pengaruh perbedaan perlakuan baik dalam hal pandangan masyarakat maupun penyediaan fasilitas umum terhadap psikologis difabel?

I.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis menyusun laporan in adalah
·         Mengetahui bagaimana hukum memandang aksesibilitas difabel
·         Mengetahui sejauh mana jaminan aksesibilitas difabel oleh fasilitas fasilitas umum Yogyakarta.
·         Mengetahui pandangan masyarakat tentang difabel
·         Mengetahui peranan difabel dalam berpolitik, perekonomian, dan kehidupan social.
·         Mengetahui pengaruh psikologis perbedaan perlakuan terhadap difabel.

I.4 Lingkup pencermatan
                Laporan ini menitikberatkan pada ketersediaan dan kelayakan fasilitas fasilitas umum ramah difabel dimana perencana adalah subjek perancang yang bertanggung jawab terhadap aksesibilitas difabel sebagai warga Negara serta membahas bagaimana fasilitas umum tersebut berdampak terhadap peranan difabel dalam bidangg politik, ekonomi, dan social masyarakat. Serta membahas beberapa pandangan yang dianut masyarakat tentang difabelitas dan dampak psikologis terbatasnya sarana umum dan perbedaan pandangan terhadap difabel pada umumnya.

I.5 Kerangka Pencermatan


                                                Hukum yang mengatur
aksesibilitas difabel


Praktek ketersediaan               
                                                sarana ramah difabel              
Difabel Jogja                                                                                       Dampak Psikologis              Solusi
     Bagi Difabel
Peranan Difabel dalam
Berpolitik, perekonomian,
dan Sosial Kemasyarakatan



Difabel menurut
beberapa Agama









BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pengertian Difabel
Istilah Difabel berasal dari bahasa Inggris dengan asal kata different ability. Yang berarti manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah tersebut digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa negative dan terkesan diskriminatif. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan ataupun ke’abnormal’an.
Diperhalusnya istilah terhadap penyandang cacat pada tahun 1997 oleh para pemerhati hak hak difabel toh pada praktiknya belum dapat merubah  pandangan masyarakat dimana kecacatan adalah sebuah kesalahan. Dalam sejarah Nazi Jerman, Hitler dalam masa kepemimpinannya melakukan pembantaian besar-besaran terhadap para penyandang cacat kerena dianggap tukang makan yang tidak berguna / useless eater. Sedangkan di beberapa Negara lain menganggap kecacatan merupakan salah satu bentuk hukuman para dewa yang marah dan biasanya mengindikasikan bahwa anak tersebut didapat dengan jalan yang salah yakninya hasil perzinaan, perkawinan sedarah, ataupun bermain main dengan setan.
Sedangkan dalam budaya jawa sendiri kita dapat melihat sesuatu yang berbeda dan bertolak belakang dengan dua kebiasaan tersebut. Jawa sendiri malah mendeskripsikan kecacatan dalam sebuah degradasi yang positif. Hal ini dilihat dari wayang hasil kebudayaan jawa yang mengisahkan tokoh tokoh utusan dewa dalam wujud petruk, gareng, dan semar yang pada dasarnya mempunyai fisik yang ‘berbeda’ dibanding manusia pada umumnya. Sekalipun pada akhirnya istilah penyandang cacatpun digantikan dengan sebutan difabel, akan tetapi di Indonesia hal ini tidak berarti ‘menormalkan’ mereka. Meskipun kecacatan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat tapi bukan berarti mereka mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum, ekonomi, dan mendapat akses mudah ke pendidikan formal sebagaimana masyarakat lain pada umumnya.
Sedangkan pengertian difabel Menurut Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Difabel adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik, (b) penyandang cacat mental, dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
Dalam Declaration of The Rights of Disabled Persons (1975) difabel adalah any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities atau “ seseorang yang tidak dapat menjamin keseluruhan atau sebagian kebutuhan dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan manusia pada normalnya dan/atau kehidupan sosialnya sebagai akibat dari kekurangan fisik dan atau kemampuan mentalnya.”
Difabel (penyandang cacat) bukan hanya merupakan orang orang penyandang cacat sejak lahir melainkan juga korban korban bencana alam atau perang yang mendapatkan kecacatan ditengah tengah hidupnya maupun para penderita penyakit yang mengalami gangguan melakukan aktivitas secara selayaknya baik gangguan fisik maupun mental. Beberapa jenis gangguan yang menyebabkan tergolongnya seseorang menjadi difabel adalah sebagai berikut :
1.       Tuna netra (buta)
2.       Tuna rungu (tuli)
3.       Tuna wicara (bisu)
4.       Tuna daksa (cacat tubuh)
5.       Tuna grahita (cacat mental)
6.       Tuna ganda ( komplikasi antara dua atau lebih bentuk kecacatan)

II.2 Difabel dalam Angka
Menurut data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2000, difabel di Indonesia mencapai 1,46 juta penduduk yaitu sekitar 0,74 % dari total penduduk Indonesia (197 juta jiwa) pada tahun tersebut. Persentase difabel di daerah pedesaan sebesar 0,83 %. Lebih tinggi dibanding dengan persentase di daerah perkotaan sebanyak 0,63 %.
Sedangkan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) belakangan memprediksikan bahwa satu dari 10 orang Indonesia adalah difabel. Meningkat dibandingkan hasil Quick survey WHO tahun 1979, yang menyimpulkan bahwa difabel di Indonesia mencapai 3,11 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan data SUSENAS. Sedangkan untuk Kota Yogyakarta sendiri tercatat terdapat 32.208 difabel dari total jumlah penduduk 3.156,2 ribu jiwa. Hal ini masih terus meningkat ketika terjadinya gempa Yogyakarta 2006 yang menimbulkan banyak korban mengalami kecacatan.

II.3 Peraturan Pemerintah Tentang Fasilitas Difabel
                Di Kota Yogyakarta, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyandang Cacat diantaranya peraturan yang diberlakukan Pemerintah Pusat maupun peraturan Pemerintah Daerah sebagai wujud dari otonomi daerah.
a.      Indonesia (Pusat)
·         Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
·         Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993
·         Peraturan Pemerintah RI No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
·         Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas

b.      Yogyakarta (Daerah)
·         Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas bagi Difabel pada Bangunan Umum dan Lingkungan Difabel-DIY
·         Skep Dirlantas Polri Nomor Skep/22/IX/2005 tanggal 22 September 2005 tentang Vademikum Polri

II.4 Hak difabel Menurut Undang Undang
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa difabel merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap difabel berhak memperoleh :
(1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
(2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya;
(3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
(4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
(5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
(6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi difabel anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
                Pada prakteknya difabel memang diberikan hak hak tersebut. Hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan sesuai kecacatan, aksesibilitas, dan yang lainnya. Akan tetapi hak tersebut semata mata difasilitasi oleh pemerintah tanpa ada pengarahan kepada difabel dan masyarakat keluarga penyandang cacat tersebut. Contohnya dalam praktek pendidikan yang diberikan pemerintah berupa SLB. Pemerintah membangun SLB walaupun dengan jumlah yang belum memadai. Akan tetapi minimnya sosialisasi dari pemerintah tentang pendidikan difabel ini menciptakan pengekangan hak tersebut dalam keluarga para penyandang cacat. Anggapan tentang kecacatan yang merupakan sebuah penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan membuat keluarga keluarga difabel berputus asa dan beranggapan bahwa mereka tidaklah membutuhkan pendidikan. Padahal difabel sama halnya dengan orang lain. Hanya keterbatasan fisiklah (dan mental bagi penyandang tuna grahita) yang membuat mereka ‘berbeda’ dari orang lain. Dan perbedaan tersebut pada dasarnya bukan alasan mereka mempunyai Hak Asasi yang berbeda dari olang lain. Lain lagi kasusnya pada hak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi difabel yang pada intinya tetap saja perhatian masyarakat dan pemerintahlah yang dituntut lebih dibanding apa yang masyarakat punya pada saat ini
Sedangkan dalam Pasal 5 Standart Rules on The Equalization of Opportunities for Person with Disabilities (1993) menjelaskan bahwa
‘Negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas melalui (1) menetapkan program program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik dan (2) melakukan upaya upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi.’
II.5 Aksesibilitas Difabel
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat 4 menyatakan
‘Aksesibilitas’ adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan  kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan’. Hal tersebut diperjelas dalam pasal 10 ayat 2 dimana ‘Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat’.

Dalam hal ini undang undang tersebut dimaksudkan untuk tujuan  berusaha mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Tujuan tersebut diwujudkan dengan janji Undang Undang tersebut memberikan kemudahan kemudahan aksesibilitas yang menjamin tujuan tersebut diantaranya dengan adanya fasilitas ramah difabel berupa alat transportasi, sarana pendidikan, lapangan kerja, maupun tempat rekreasi ataupun ruang terbuka public yang dapat mereka manfaatkan dengan nyaman.
Setidaknya terdapat empat azas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas difabel tersebut yang mutlak mestinya harus dipenuhi oleh pemerintah yakninya:
·         Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
·         Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
·         Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel.
·         Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.


II.6 Hambatan Arsitektural Difabel
Dalam merealisasikan tujuan menciptakan kemudahan demi menjamin agar difabel sepenuhnya dapat hidup bermasyarakat seperti yang terdapat dalam pasal 10 ayat 2 Undang Undang No 4 tahun 1997 tentang penyandang Cacat, pemerintah mestinya memperhatikan beberapa hal yang menjadi penghambat bagi aksesibilitas difabel dalam menciptakan rencana tata ruang ramah difabel. Menurut Country Study Report (2005) salah satu penyebab mengapa persoalan rehabilitasi social dan aksesibilitas fisik para difabel Indonesia masih sangat terbatas karena dari total anggaran nasional hanya terdapat 0.5 % dana bagi rehabilitasi dan aksesibilitas tersebut.
Selain persoalan dana tersebut beberapa contoh hambatan arsitektural bagi difabel adalah tidak adanya trotoar, permukaan jalan yang tidak rata, tepian jalan yang tinggi, lubang pintu yang terlalu sempit, lantai yang terlalu licin, tidak tersedianya tempat parkir yang sesuai, tidak tersedia lift, fasilitas sanitasi yang terlalu sempit, telepon umum yang terlalu tinggi, tangga yang tidak berpagar pengaman, jendela atau papan reklame yang menghalangi jalan, dan lain lain.

Hambatan arsitektural mempengaruhi tiga kategori, yaitu:
1.       Kecacatan fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda, semi-ambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot
2.       Kecacatan sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra, tunarungu, dan tunawicara.
3.       Kecacatan intelektual / mental (tunagrahita).
Hambatan yang dihadapi oleh Penderita Cacat Fisik diantaranya adalah :
1.       Pengguna kursi roda mencakup:
·         Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit.
·         Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar.
·         Tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastafel.
·         Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit
·         Permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda.
·         Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka.
·         Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya.

2.       Penyandang Semi-ambulant
Semi-ambulant adalah tunadaksa yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak memerlukan kursi roda. Hambatan arsitektural yang mereka hadapi antara lain mencakup:

·         Tangga yang terlalu tinggi.
·         Lantai yang terlalu licin.
·         Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis.
·         Pintu lift yang menutup terlalu cepat.
·         Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.

3.       Hambatan Arsitektural bagi Tunanetra
·         Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat.
·          Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki.
·         Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup.
·         Lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai.

4.       Hambatan bagi Tunarungu
·         Tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum.
·         Kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk.
·         Tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya.

5.       Hambatan bagi Tunagrahita
Para tunagrahita yang memiliki masalah dengan keintelektualannya akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.

Dari lima jenis kecacatan tersebut, yang paling membutuhkan sarana berbeda dibanding sarana yang tersedia biasanya adalah tuna daksa yang biasanya menggunakan kursi roda.

Beberapa hal yang membantu tuna daksa dan ditetapkan pada standar penyandang cacat Peraturan Menteri PU tahun 2007 yakninya:
·         Ramp (bidang miring pengganti tangga bagi tuna daksa) dengan perbandingan 1 :12 sampai dengan 1 : 15 antara tinggi dan alas ramp agar memudahkan mendorongkursi roda.
·         Lebar pintu lebih dari 90 cm (selebar kursi roda)
·         Toilet duduk dengann railing (tempat berpegang)
·         Telepon umum dan tombol lift yang rendah

Fasilitas ideal bagi Tuna Netra :
·         Talking lift atau tombol lift dengan huruf Braille
·         Braille pada handle tangga dan petunjuk arah
·         Warning block di jalan umum
·         Pada handphone, titik di kanan dan kiri tombol angka 5

Fasilitas bagi Tuna rungu:
·         Alarm kebakaran yang berkedip kedip bukan Cuma berbunyi
·         Running text di tempat tempat umum
Fasilitas bagi tuna grahita
·         Sebisa mungkin menghindari sudut lancip pada bangunan
Persyaratan tersebut sejak beberapa tahun yang lalu mulai diperhatikan dalam pembangunan fisik wilayah di tempat tempat umum seperti Rumah Sakit, Terminal, Kantor Walikota, Kantor Pos, Taman, dan Pusat Perbelanjaan. Akan tetapi hingga saat ini hal tersebut masih belum memadai dan memenuhi kebutuhan difabel. Bahkan masih banyak saja pihak yang kurang menyadari pentingnya pembangunan fasilitas fasilitas ramah difabel Beberapa pihak berdalih mestinya tak perlu mengeluarkan banyak uang demi kepentingan segelintir orang.  Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa mestinya difabel dapat mandiri dan menyesuaikan diri dengan fasilitas yang ada. Padahal difabel mungkin minoritas akan tetapi jumlah mereka tidak sedikit jika dihitung dari 10 % dari sekian banyak penduduk Indonesia.
Terkadang, dalam pembangunan sarana difabel dibangun setelah melihat adanya difabel yang kesulitan dalam penggunaan sarana tersebut. Sebelum menyaksikan adanya difabel pada sarana tersebut, pihak penyedia sarana umum berdalih tak perlu menyediakan fasilitas karena tak adanya difabel yang menggunakan fasilitas tersebut. Padahal fasilitas tersebut tidak dikunjungi difabel karena memang tak ramah difabel. Mestinya, fasilitas dibangun sebelum terjadi kasus kesulitannya difabel dalam menggunakan sarana umum.










BAB III
AKSESIBILITAS DIFABEL KOTA YOGYAKARTA

III. 1 Bentuk-Bentuk Sarana yang Disediakan untuk Difabel
1.      Transportasi :
a.      Transjogja
Sebagai sarana transportasi umum yang terbilang murah dan menjangkau seluruh bagian kota jogja, Kehadiran Transjogja dengan segala kenyamanannya disambut hangat oleh masyarakat Yogyakarta secara umum, termasuk para difabel. Apalagi transjogja dijanjikan dapat diakses oleh semua masyarakat dan juga menyediakan sarana sarana penunjang agar dapat ikut andil dalam transportasi masyarakat difabel.
   
Gambar 1 :Space yang disediakan Transjogja              Gambar 2 :Slogan Busway dalam   mengutamakan difabel

Akan tetapi, hal ini ternyata dalam prakteknya tidak selalu memberikan kemudahan bagi difabel. Beberapa hal tetap saja tidak memperhatikan keberadaan para difabel sebagai konsumen. Toh difabel masih mengalami kesulitan disana sini terutama bagi difabel pengguna kursi roda.
Diantaranya beberapa hambatan bagi difabel dalam penggunaan transjogja adalah :
·         Adanya space yang terlalu lebar antara halte dan bis yang berhenti. Hal ini menyulitkan difabel baik tunanetra, pengguna kursi roda, maupun penderita semi ambulant (gangguan berjalan tapi tanpa menggunakan kursi Roda) naik maupun keluar bis.
Gambar 3 :Seorang difabel kesulitan saat turun dari bus patas di Halte Transjogja,
Condong Catur, Yogyakarta, Selasa (26/2)


·         Ramp dipintu keluar terlalu curam. Bahkan hampir mencapai 45 derajat. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi difabel berkursi roda maupun pihak keluarga yang mendorong kursi roda tersebut. Padahal berdasarkan standar fasilitas difabel ideal ramp mestinya mempunyai ukuran 1:12 hingga 1:15 antara tinggi dan alasnya.
·         Ramp yang ada sering berbatasan langsung dengan tiang bendera, taman, pohon, dan benda benda lain tanpa ada space bagi kursi roda hingga menyulitkan difabel naik maupun turun dari halte.

Gambar 4 : Ramp berbatasan langsung dengan pot vegetasi dan pedagang buah.

·         Adanya perbedaan ketinggian yang cukup besar antara jalan dan halte transjogja tanpa adanya ramp yang membatasi.
·         Perbedaan ketinggian dimana umumnya halte lebih tinggi 20 – 30 cm dibanding pintu bis. Hal ini menyulitkan difabel keluar dari bis.

Gambar 5,6, & 7 Perbedaan ketinggian lebih kurang 20-30 cm antara bus dan halte di tiga halte berbeda.
Beberapa hal tersebut mungkin terlihat cukup sepele bagi masyarakat secara umum, akan tetapi bagi difabel terutama pengguna kursi roda hal hal kecil tersebut sangatlah menyulitkan mereka. Padahal dalam pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara menjamin aksesibilitas difabel di Negara setempat dan pada 9 Desember 1975, PBB mendeklarasikan Hak-Hak Penyandang Cacat melalui resolusi no. 3447(XXX) untuk meningkatkan kualitas hidup kaum difable yang harus diikuti oleh seluruh negara anggotanya. Resolusi ini menjamin persamaan hak sebagai warga negara tanpa melihat kecacatan, menjamin hak untuk bekerja secara produktif dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta pelarangan perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum difabel
Dalam menyikapi masalah masalah tersebut hendaknya PT Jogja Tugu Trans pemerhatikan segi desain dan posisi lahan yang digunakan sebagai halte trans. Beberapa perbaikan yang musti dilakukan penyedia transjogja adalah;
1.       Halte didisain lebih menjorok di pintu keluar menuju bis bertujuan agar mempermudah difabel keluar masuk bis.
2.       Ram yang tidak terlalu curam. Hal ini diharapkan mampu meringankan beban dalam mendorong kursi roda para difabel. Dalam hal ini kemiringan ram ideal sudah dapat dilihat pada halte  Jl. KH Ahmad Dahlan.
3.       Halte hendaknya dibangun dan menyisakan space lebih kurang 2 m di sebelah kanan dan sebelah kiri ram agar ketika turun difabel tidak langsung berhadapan dengan taman, tiang bendera, dan tiang listrik sebagaimana pada halte transjogja Jl. KH Ahmad Dahlan, Gembiraloka, Jl. Brigjen Katamso.
4.       Penyediaan ram di batas antara jalan raya dan trotoar yang ada diatasnya.
5.       Pintu halte hendaknya dibangun sama tinggi dengan pintu bis dengan lebih teliti.

b.      Terminal Giwangan
Selain transjogja, Giwangan sebagai terminal terbesar Yogyakarta sendiri harusnya dibangun ramah difabel mengingat kevitalan sarana ini dalam menunjang kehidupan masyarakat. Sedangkan prakteknya terminal ini tidak mempunyai fasilitas yang baik bagi difabelselain sepasang ramp dengan kemiringan yang sudah memadai 1 : 12 tanpa ada fasilitas yang lain.
   
Gambar 8 & 9 Ramp terminal Giwangan
Menurut keterangan bagian informasi terminal tersebut difabel yang ada khususnya tunadaksa biasanya hanya digendong pihak keluarga diterminal tersebut karena memang minimnya fasilitas bagi difabel. Apalagi banyaknya jenjang tinggi kelantai dua di terminal tersebut tanpa dilengkapi ramp alternatif. Hal ini seolah menyatakan bahwa kemudahan transportasi hanya milik kaum ‘normal’. Padahal kecacatan sesungguhnya bersifat relative. Ditengan dunia dimana semua penduduknya berkaki satu mungkin saja justru orang-orang yang mempunyai dua kaki dianggap sebagai penyandang cacat.
Gambar 10 Tangga naik tanpa dilengkapi ramp alternatif

Selain itu, toilet yang ada di tempat tersebut terbilang belum ramah difabel. Dengan lebar pintu masuk lebih kurang lima puluh sentimeter, kursi roda tentunya tak muat memasuki pintu tersebut. Selain itu, WC jongkok tanpa adanya pegangan (railing) biasanya jug menyusahkan bagi para difabel. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Toilet ramah difabel yang sudah disediakan di pusat pusat perbelanjaan dengan disain ramah difabel yang beberapa sudah dikembangkan di Jakarta.
          
Gambar 11 WC jongkok Giwangan tanpa              Gambar 12 Contoh WC ramah difabel
       dilengkapi pegangan



c.       Sepeda Motor Bagi Difabel
10 Desember 2008 lalu, Kepolisian Daerah DIY mengeluarkan Surat Nomor B/4965/XII/2008/Ditlantas ditujukan kepada Kepala Poltabes/Kepala Polres se-DIY perihal Pembuatan Surat Izin Mengemudi untuk Penyandang Cacat. Ada tiga hal pokok yang harus dilaksanakan oleh poltabes/polres. Pertama, tidak ada diskriminasi dalam pengurusan SIM antara difabel dan nondifabel. Kedua, memberikan pelayanan dan menyediakan sarana dan prasarana bagi difabel yang dapat mempermudah difabel mengurus SIM. Dan ketiga, difabel diperbolehkan melakukan modifikasi kendaraan bermotor dengan berpedoman pada ketentuan yang ada. Peraturan ini memang baru berlaku di kota Yogyakarta. Sedangkan di kota besar lain seperti Jakarta dan Semarang peraturan ini memanglah belum diterapkan.
Dalam hal ini, beberapa desain sudah dikembangkan demi memudahkan difabel dalam mengendarai sepeda motor diantaranya adalah:
    
Gambar 13 & 14 Beberapa Disain Sepeda Motor Ramah Difabel
2.      Pendidikan
a.      Sekolah Luar Biasa (SLB)
Dalam hal pendidikan, terdapat 1.094 SLB yang tersebar di seluruh Indonesia, akan tetapi ironosnya hanya 44 sekolah yang merupakan milik pemerintah sedangkan lainnya merupakan milik swasta dengan biaya operasional murni dari orang tua siswa dan beberapa donator.
Mengingat janji pemerintah dalam hal hak asasi para penyandang cacat yang berhak atas pendidikan yang layak, hal ini dari segi kuantitas jauh dari apa yang kita butuhkan mengingat lebih kurang 10 % bangsa Indonesia merupakan difabel menurut catatan WHO. Apalagi jika ditinjau dari segi kualitas. Indonesia tentu kalah telak dibandingkan Swedia dimana para difabelnya dapat kita lihat berseliweran dimana mana bahkan menaggung beban penghidupan keluarga. Sedang di Indonesia tidak melihat difabel berseliweran bukan berarti jumlah difabel Indonesia yang lebih sedikit, melainkan belum ‘nyaman’nya fasilitas public bagi difabel.
Di yogyakrta sendiri terdapat difabel mencapai 7.000 orang untuk kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta 6.000 orang, Bantul 7.000 orang, Kulonprogo 7.000 orang serta Gunungkidul sebanyak 6.500 orang.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 62 Sekolah Luar Biasa negeri dan swasta yang dapat dibedakan berdasarkan tipenya yakninya :
·                     SLB tipe A : Diperuntukkan bagi Tuna Netra
·                     SLB tipe B : Diperuntukkan bagi Tuna rungu dan tuna wicara
·                     SLB tipe C : Diperuntukkan bagi tuna grahita, dan
·                     SLB tipe D : Diperuntukkan bagi tuna daksa.
Sedangkan Lebih dari 25 persen difabel di DIY yang merupakan anak usia sekolah tak dapat menikmati pendidikan. Dari sekitar sekitar 5.000 difabel yang ada, hanya 3.477 yang masuk SLB. Sisanya sekitar 1.500 belum sekolah.
Sebagaian besar anak difabel di DIY terdiri dari para tuna grahita, tuna rungu, tuna netra, dan tuna ganda yang saat ini telah ditampung di 62 SLB dan 70 sekolah inklusi yang tersebar di lima kota dan kabupaten yakni 26 SLB di Sleman, 16 SLB di Bantul, 8 SLB di Kota Yogyakarta, 7 SLB di Gunung Kidul dan 7 SLB di Kulon Progo.
Gambar 15 Grafitti pada pagar SLB N Pembina bertuliskan Education for All
Beberapa hal yang ditekankan dalam Operasi SLB sebagai lembaga pendidikan Indonesia adalah :
Tunanetra          : membaca dan menulis braille, orientasi mobilitas.
Tunarungu         :Bina Bicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama
Tunagrahita       : Binadiri, Sensomotor,
Tunadaksa         : Bina gerak, sensomotor, Behaviour Terapi
Umum                 : Play terapi, Music Terapi, Physioterapi, Hidroterapi,  Occupational terapi.
Mengingat jumlah dan persebaran SLB (pada lampiran halaman 34)di DIY memang lebih banyak digunakan SLB campuran yang bisa menangani pendidikan difabel dengan beberapa jenis kecacatan sekaligus. Hal ini pada dasarnya sudah baik dan perlu dipertahankan mengingat letak geografis lokasi pendidikan biasanya juga mempengaruhi jumlah anak didik. Dengan  kesanggupan SLB memberikan pendidikan kepada anak dengan kecacatan tertentu diharapkan para difabel dapat dibantu dalam hal jarak permukiman dengan lokasi pendidikan. Jika saja ternyata anak dengan tuna netra tinggal jauh dari SLB tipe A dan lebih dekat dengan SLB tipe B yang menangani tuna rungu tentunya sang anak didik mesti menempuh jarak yang cukup jauh untuk mengecap pendidikan sedang tak sedikit orang tua yang tak mau bersusah payah menyekolahkan anak mereka dengan keterbatasan fisik ditempat yang jauh. Apalagi rasa malu orang tua menyekolahkan anak mereka di SLB sampai saat ini masih menghantui lingkungan difabel. Belum lagi anggapan bahwa keterbatasan anak mereka menyebabkan terhalangnya sang anak menuju kesuksesan. Pandangan-pandangan seperti inilah yang menyebabkan minimnya peranan difabel dalam bermasyarakat, dalam dunia pendidikan, dan pekerjaan. Pandangan bahwa keterbatasan fisik mereka merupakan keterbatasan dalam segala hal inilah yang pada intinya menyebabkan terasingnya difabel dari lingkungannya.
   
Gambar 16 Petunjuk Penggunaan Toilet difabel       Gambar 17 SLBN Pembina Yogyakarta tanpa
Di pintu masuk toilet tunagrahita                                         adanya jenjang hanya ramp

Selain itu sebuah permasalahan lain mengenai pendidikan difabel adalah panti rehabilitasi yaitu panti yang memberikan pelatihan pelatihan ketrampilan, terapi psikologis, dan kegiatan lain bagi difabel seolah memperlakukan difabel layaknya pengguna narkotika yang harus dihentikan. Dalam Daerah istimewa Yogyakarta sendiri terdapat beberapa pusat rehabilitasi difabel seperti Yakkum Yogyakarta dimana disini para difabel khususnya tunadaksa Yogyakarta diajarkan untuk membuat keterampilan, menjahit, dan lain lain yang diharapkan dapat membantu difabel dalam mendapatkan uang seolah olah difabel tidak mampu bersaing dengan orang orang normal pada umumnya. Padahal tuna daksa, tuna rungu, dan tuna wicara semata mata adalah keterbatasan fisik! Bukan kelainan otak! Katerampilan tidaklah salah. Bahkan orang orang normal sekalipun membutuhkan hal tersebut akan tetapi bukan berarti tempat mereka para difabel adalah panti rehabilitasi. Lain lagi halnya dengan Tuna Grahita. Para pengidap Tuna Grahita ringan pada dasarnya masih bisa menerima materi pelajaran umum meskipun kurikulumnya berada beberapa tingkat dibawah sekolah sekolah umum. Akan tetapi tuna grahita sedang memanglah agak sulit diberikan materi pelajaran umum, untuk itu, pelatihan keterampilan memang sesuatu yang sangat bagus yang bisa kita berikan kepada difabel sebagaimana pelatihan keterampilan yang diajarkan pada SLBN Pembina Yogyakarta.
Sebagai SLB dengan fasilitas terlengkap Yogyakarta, Sekolah ini mempunyai banyak kelas keterampilan pilihan yang masih termasuk dalam kurikulum pembelajaran diantaranya otomotif, menjahit, tekstil, kerajinan kayu, ukiran, salon, dan tata boga yang menerima orderan dari luar dikelola guru pengajar dan mempunyai beberapa karyawan dikalangan siswa didik.
          
Gambar 18,19 & 20 Keterampilan untuk difabel di SLBN Pembina Yogyakarta
b.      Museum
Selain pendidikan formal, museum merupakan tempat yang baik bagi pendidikan masyarakat termasuk difabel. Dalam hal ini, terdapat beberapa museum di kota Bandung sudah mulai menyediakan sarana ramah difabel yang seharusnya bisa dicontoh oleh Jogja sebagai kota pelajar, yakninya museum Sri Baduga yang menyediakan alat infromasi dan layar sentuh yang bisa dimanfaatkan para penyandang cacat, baik tuna rungu dan tunadaksa untuk menggali informasi tentang koleksi yang ada di museum. 

3.      Akses Ruang terbuka Bagi difabel

Para difabel umumnya mempunyai keterbatasan dalam gerak, rasa takut berbuat salah, dan keminderan. Dalam hal ini, secara psikologis ruang terbuka yang didisain ‘ramah’ dan menarik dipandang dapat melatih mental difabel bersifat lebih terbuka dan mau berinteraksi dengan orang lain maupun alam.
Terapi ruang terbuka ini dipandang juga dapat melatih indra perasa, peraba, pendengar, dan kepekaan difabel terhadap lingkungannya. Hal ini diharapkan dapat melatih keaktifan difabel tak selalu pasif dalam bermasyarakat. Jadi ruang terbuka diharapkan dapat didisain care dan nyaman bagi difabel.
     
Gambar 21 & 22 Taman bagi difabel SLB N Pembina Yogyakarta didisain lebih menarik
dibanding SD pada umumnya

III.2 Difable dalam Berpotik, Perekonomian, dan Sosial Kemasyarakatan
a.      Politik

Dalam kancah perpolitikan sebenarnya difabel bukan merupakan sesuatu yang asing di dunia Internasional. Sebut saja dalam Refolusi Filiphina tahun 1896 Apolinario Mabini merupakan seorang pahlawan yang gaung namanya tak kalah dihormati dibanding dengan Yose Rizal,penggerak refolusi Philipina. Mabini sebagai otak revolusi Filipina merupakan salah satu orang yang berjuang keras menentang penjajahan Amerika atas Negara tersebut hingga harus diasingkan oleh penjajah yang merasa terancam dengan keberadaan Mabini, seorang difabel yang mengalami gangguan dalam berjalan hingga pada saat saat perjuangannya harus ditandu oleh beberapa pejuang lain. Hal ini mestinya mengajarkan kita bahwa mereka para difabel bahkan juga bisa berjuang lebih baik daripada orang orang ‘normal’ pada umumnya.

Di Indonesia dalam hal politik, sejauh ini difabel bukanlah subjek politik melainkan objek dari politik itu sendiri seolah mereka merupakan ‘sesuatu yang harus dilindungi’ bukan melindungi. Sejalan dengan paham ‘normalisme’ , paham pemuja kenormalan  dimana fasilitas yang ada berpedoman kepada kebutuhan orang orang normal pada umumnya dan mengenggap difabellah yang harus menyesuaikan diri dengan fasilitas yang ada, rakyat Indonesia cendrung meremehkan difabel yang berkecimpung dalam dunia politik. Sebut saja KH Abdurrahman Wahid yang merupakan presiden Indonesia yang ke-4.

Disatu sisi hal tersebut merupakan prestasi besar bagi para penyandang cacat akan tetapi disisi lain ketika sang presiden malah mengalami kemunduran dalam pemerintahannya dan melakukan beberapa hal yang berlawanan dengan Undang Undang Dasar, kecacatannya cenderung menjadi bahan olok-olok masyarakat secara umum seolah kesalahan itu ada karena kecacatan tersebut. Beberapa ‘guyonan politik’ mulai berkembang dalam masyarakat mengatai bahwa presiden Indonesia saat itu adalah 3 orang. Sang presiden yang tuna netra, istri beliau yang dikursi roda, serta ajudan yang mendorong kursi roda Ibu Negara tersebut. Sedikit tidak adil jika kesalahan dalam tindakan dan pribadi seseorang malah dipandang dari segi fisik orang tersebut. Dan paham seperti inilah yang masih saja berkembang dinegara kita sadar ataupun tidak kita sadari. Tak jarang juga dalam pergaulan sehari hari kata ‘Autis’, ‘SLB’ dan ‘Cacat’ dijadikan bahan olok olokan bahkan dikalangan anak anak usia sekolah.

Dalam kebiasaan Negara berpemilu, peranan difabel juga belum begitu optimal. Masih banyak difabel yang tidak mendapat hak pilih karena beberapa dianggap tidak mampu memilih dan berpikir dengan baik seperti penyandang cacat mental (tunagrahita) yang mungkin memang cacat dalam segi intelegensi.

Pada dasarnya dalam berdemokrasi di Indonesia masih terdapat tiga masalah pokok dalam meninjau peran serta para difabel pada pemilihan  umum (pemilu) yakninya:

1.       keterbatasan fasilitas dalam pemungutan suara bagi difabel
Dalam hal ini beberapa masalah dalam memfasilitasi pemungutan suara pada difabel yakninya tempat pemungutan suara yang terlalu tinggi hingga tidak cukup memudahkan para tunadaksa yang menggunakan kursi roda dan tidak adanya kertas suara dalam huruf braile bagi penyandang tuna netra.


2.       mobilisasi dan manipulasi yang dialami difabel agar mencoblos partai tertentu.
Acap kali difabel dianggap tidak cukup punya kecerdasan dalam berpolitik dan mempunyai standar intelektual yang cukup rendah. Padahal selain tunagrahita, difabel tidaklah merusak system kerja otak melainkan hanya sensorik dan cacat anggota tubuh. Untuk itu difabel acap kali ‘digunakan’ beberapa pihak, diberikan hak suara untuk menambah suara partai partai tertentu. dalam permasalahan ini mestinya system dan budaya politik yang kurang cerdas mestinya dapat diperbaiki.

3.       tidak adanya garansi perubahan nasib difabel dalam pemilu.
Berkenaan dengan pemilu memang selama ini hak suara para menyandang cacat acapkali terabaikan. Dibeberapa kasus memang para difabel sendiri yang apatis terhadap pemerintahan karena selama ini memang belum terdapat jaminan perbaikan nasib difabel dalam pemilu. Untuk itu beberapa waktu lalu para difabel sempat membuat kontrak politik terhadap beberapa caleg dimana dibutuhkan pengetahuan tentang aksesibilitas difabel dan jaminan bahwa akan terperhatikannya hak hak para difabel. Kontrak politik ini pada akhirnya ditandatangani oleh 6 caleg dari 15 caleg yang diundang secara random yakninya adalah Daryanto Wibowo dari Partai Demokrat, Yustiono Bahri dari Partai Patriot, Ahmad Mujahid dari Golkar serta tiga caleg PKS, masing-masing Huda Tri Yudiana. , Boedi Dewantoro dan Ahmad Samianto dan akan dipertanggungjawabkan kepada difabel jika terpilih menjadi anggota legislative Jogja nantinya.

b.      Ekonomi
Jaminan Hak difabel dalam perekonomian sebagaimana tercantum pada UU no 6 tahun 1997 pada prakteknya hari ini sangat jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini terbukti pada persyaratan pada iklan lowongan pekerjaan yang masih banyak mencantumkan ‘tidak cacat fisik’. Padahal jika dibandingkan tuna grahita dan anak anak autis yang memang cacat mental, difabel yang cacat fisik masih terbilang normal. Mereka yang mempunyai bagian tubuh yang tidak sesuai dengan kebanyakan orang lain toh tidak mengalami gangguan otak maupun mental. Bahkan beberapa diantaranya terbilang cerdas dibandingkan kebanyakan orang lain.
Hal ini merupakan salah satu penghambat bagi perekonomian difabel. Wajar, banyak diantara mereka yang tidak terganggu intelektualnya justru malah memilih pelatihan pelatihan keterampilan di pusat rehabilitasi dibandingkan belajar materi pembelajaran umum. Jika pemerintah saja tak bisa merealisasikan cita cita pemerataan perlakuan terhadap para difabel bagaimana sector swasta bisa menerima mereka dalam perekonomian, padahal banyak hal yang bisa mereka para difabel lakukan ditengah tengah keterbatasan fisik mereka tersebut. Hal inilah yang mestinya mendapatkan perhatian Khusus bagi Pemerintah.

c.       Sosial Kemasyarakatan

Perbedaan perlakuan dan tidak terealisasikannya jaminan terhadap aksesibilitas difabel secara psikologis memberikan rasa kurang percaya diri dan rasa terasing bagi difabel.

Setidaknya terdapat beberapa pandangan yang berkembang dimasyarakat tentang difabel yakninya:
Pertama, cara  pandang yang menempatkan difabilitas sebagai  perkara medis (medical model).  Dalam  cara  pandang  ini difabilitas  dilihat sebagai patologi atau kondisi  yang harus disembuhkan  dan ditangani (dirawat) secara  khusus.  Pandangan ini  banyak  dianut oleh para pendiri dan pengelola  panti-panti rehabilitasi  untuk kaum difabel dan pandangan pandangan eropa kuno yang memandang negatif para difabel. 
Kedua,  difabilitas  dilihat dalam pandangan  karitas (charity model).  Menurut  pandangan ini difabilitas  dilihat sebagai sebuah tragedi yang mesti ditangani lewat  kedermawanan.  Pandangan  ini  agaknya  yang paling paling  banyak  dianut dalam  masyarakat kita. Tatkala  persoalan  kaum  difabel  diangkat agar menjadi  perhatian publik lazimnya disertai  ajakan  membantu mereka. Inilah  yang  banyak dilakukan oleh sejumlah lembaga amal yang menjadikan difabel peluang beramal yang harus dikasihani.

Ketiga, cara pandang yang memposisikan  kaum difabel sebagai contoh “kepahlawanan” (supercrip model).  Di sini kaum difabel  dilihat sebagai sosok  “pahlawan” yang  menjadi bagian  dari kehidupan sehari-hari kita.  Dalam pemberitaan  media massa pandangan semacam ini sangat  gampang kita temukan.  Lazimnya, media massa mengangkat sosok difabel dalam berita kisah sebagai  contoh  perjuangan dalam mengalami  keterbatasan dalam  meniti hidup sehari-hari.  Tanpa sadar,  niat media  yang sepintas mulia  itu  tetap  terperangkap  dalam melihat difabilitas sebagai “ketidaknormalan” sehingga  menjadi terlihat  sebagai  fenomena yang “luar biasa” dibandingkan dengan anggota masyarakat pada umumnya.

Keempat,  pandangan  terhadap difabilitas  sebagai  perkara moral (moral model). Karena itu, menurut  pandangan ini  difabilitas  harus  diubah dari  bentuk kelemahan moralitas. Pandangan  semacam ini amat gampang kita temukan dalam kotbah dari kalangan agamawan.  Lewat  kotbah  itu kaum difabel dihimbau  untuk  menerima  (dan mensyukuri) keterbatasannya dan  terus memupuk terus kecintaan pada Tuhan tanpa mempersalahkan kondisi dirinya. Pandangan ini juga dianut para pemuka adat yang biasanya mengclaim pernikahan sedarah yang terlarang sebagai penyebab kecacatan.

Dari keempat pandangan tersebut kita lihat hanya satu pendangan yang melihat difabel dari segi positif dimana tiga lainnya memandang dari arah yang berlainan sekalipun pandangan yang menjadikan difabel contoh heroik tersebut masih memandang difabel dari ‘keterbatasannya’. Dengan kata lain tak satupun dari keempat pandangan tersebut yang menganggap menjadi difabel itu normal dan memperlakukan difabel sebagaimana orang lain kebanyakan. Padahal itulah yang mereka butuhkan. Disamakan, diakui haknya, diterima, dan tidak dipandang aneh. Pandangan pandangan yang dianut masyarakat ini secara psikologis menimbulkan perasaan terasing dalam diri difabel. Tak jarang banyak difabel yang terasing dari pergaulan dan hanya berinteraksi sesama penyandang cacat saja. Selain itu perbedaan pandangan terhadap penyandanng cacat ini jugalah yang melatarbelakangi timbulnya berbagai macam organisasi social yang beranggotakan difabel itu sendiri dalam memperjuangkan haknya seperti ‘Himpunan Wanita Penyandang Cacat’ maupun organisasi social yang membantu hak aksesibilitas difabel tersebut dimana organisasi ini selain berlatar belakangkan rasa kasihan, ada pula yang memperjuangkannya dengan alasan HAM (Hak Asasi Manusia)

III.3 Dampak Psikologis Keterbatasan Akses Bagi Difabel
                Terbatasnya akses fasilitas umum terhadap difabel membawa majalah Sketsa edisi 24 pada hasil survey yang melibatkan 25 responden yang dipilih secara random menyatakan 24% responden keluar rumah hanya 1 kali dalam sebulan, 4% responden keluar 1 kali dalm 2-3 minggu, 24% responden keluar 1 kali seminggu dan 12% sisanya keluar hamper tiap kali. Dibandingkan kehidupan kita sehari hari yang keluar rumah dua, tiga kali, bahkan lebih setiap hari, kehidupan difabel terbilang jauh berbeda dengan itu semua. Hal ini menimbulkan berbedanya kehidupan para difabel dibandingkan kehidupan masyarakat normal pada umumnya. Dimana dalam bersosial difabel hanya mengenal orang orang disekitar rumahnya dan orang orang dipanti rehabilitasinya jika difabel tersebut mendapatkan fasilitas penti rehabilitasi.
                Terasingnya para penyandang cacat dari ilmu pengetahuan yang semakin maju, dari kecanggihan teknologi, dan dari kondisi social politik yang saat ini mempunyai masalah yang sangat kompleks menurut teori mobilitas sosial penduduk yang dicetuskan Daniel Lerner menyebabkan mental difabel yang berbeda dari masyarakat secara umum. Difabel menjadi seseorang yang takut melakukan kesalahan, mempunyai keterbatasan gerak, dan cenderung pasif dalam kehidupannya serta mempunyai mobilitas psikis yang minim. Dunianya hanyalah sebatas apa yang dilakukannya setiap hari. Lingkungan ini tentunya tak baik bagi perkembangan fisik dan mental difabel. Seolah kehidupan normal mereka telah kita rampas dengan tidak memberikan mereka fasilitas yang layak bagi mobilisasi penyandang cacat dan dengan menciptakan jurang pemisah antara ‘normal’ dan ‘cacat’.
Hal inilah yang mestinya dipahami oleh pemerintah dan masyarakat agar terwujudnya pemerataan perlakuan bagi difabel maupun orang normal. Dan satu hal yang harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat bahwa menjadi difabel adalah ‘normal’. Semuanya hanya akibat dari tidak sempurnanya pembelahan sel tubuh dalam rahim ibu dan juga mutasi mutasi genetik yang mungkin terjadi pada siapa saja karena faktor eksternal. Hal inilah yang harus kita pahami bahwa ‘difabel bukanlah kecacatan melainkan perbedaan’.



III.4 Difabel dalam sudut pandang beberapa Agama
1.      Islam
Lumrah jika dalam keadaan tertekan atau mungkin dikucilkan seseorang bertumpu pada agama yang mereka anut. Islam sendiri sebagai agama yang banyak dianut penduduk Indonesia beberapa kali masih banyak penafsiran bahwa orang buta tidak diperkenankan untuk menjadi imam shalat Bahkan dalam Al Quran menyatakan bahwa Tuhan berfirman tidak membedakan hamba-Nya dari fisik melainkan dari amal ibadahnya. Akan tetapi dalam ayat lain (AlBaqarah :17 & 18 ) tuhan menyatakan :

‘Perumpamaan mereka seperti orang orang yang menyalakan api , setelah menerangi sekelilingnya , allah menciptakan cahaya  yang menyinari mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta sehingga mereka tidak dapat kembali.’

Anehnya ayat ini diturunkan Tuhan sebagai perumpamaan orang orang yang tidak beriman menjadi buta, bisu dan tuli. Analogi kecacatan dalam menggambarkan keimanan seseorang yang bobrok terkadang menimbulkan pemikiran bahwa kecacatan adalah sebuah kesehatan yang harus disembuhkan. 

2.      Kristen
Dalam Kristen, difabel dianggap sebagai manusia yang bergelimpangan dosa, hingga musti disembuhkan. Sebagaimana tergambar dalam kitab Matius, Yesus Sang penyelamat, sanggup menyembuhkan orang lumpuh. Kelumpuhan adalah stuasi penuh dosa, sehingga ketika dosa telah diampuni, sembuh sudah orang lumpuh tersebut. Bahkan St Agustine, orang yang bertanggungjawab atas perkembangan agama Kristen di Inggris meyakini bahwa difabilitas adalah hukuman bagi turunnya Adam dan dosa-dosa yang lain, mempunyai hubungan erat dengan ilmu sihir. Selain itu, pada kurun abad enam hingga abad 19 di Eropa. Tengah berkembang dalam benak masyarakat, difabel selalu saja dihubungkan dengan kekuatan setan. Perempuan yang mempunyai anak difabel, dianggap sebagai hasil dari hubungan gelap dengan setan atau main-main dengan ilmu sihir(witchcraft) (Colin, 2001)
Marthin Luther, pendobrak keburukan gereja,dan pemimpin reformasi Protestan menyokong dan memproklamirkan pembunuhan bayi-bayi difabel di Jerman. Hal ini sekali lagi menganggap orang-orang difabel sebagai “titisan setan”. (Colin, 1997). 
3.      Yahudi
Yahudi yang merupakan suatu kepercayaan besar, melihat orang difabel sebagai jenis spesies yang tidak layak untuk andil dalam ritual keagamaan. Dalam Leviticus, sebagai contoh, orang-orang buta, yang mempunyai tangan satu, kerdil, dan bentuk kecacatan yang lain, dilabeli sebagai orang kotor yang tidak mempuyai hak untuk mendapat kasih dan rahmat Tuhan (Colin, 1997)

III.5 Peranan Perencanaan dalam Memberi Akses Difable
Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan satu bidang ilmu yang akan menghasilkan para perencana tata ruang wilayah dan diharapkan mampu menciptakan rancangan penggunaan ruang yang baik bagi perkembangan dan juga aktivitas manusia yang ada dalam kota maupun wilayah tertentu dan merealisasikannya dalam masyarakat. Dalam hal ini perencana tidak mungkin bekerja sendiri akan tetapi juga bekerja sama dan harus memahami bidang ilmu lain seperti ekonomi kota, psikologi ruang, dan bidang ilmu social lainnya agar perencanaan penggunaan ruang yang dihasilkan mampu memberikan dampak positif bagi kegiatan perekonomian dan social kemasyarakatan wagra.
                Untuk tujuan tersebut para perencana diharapkan mampu merangkul semua golongan. Tak hanya kaum yang mampu membayar melainkan segenap penduduk kota. Merupakan tugas seorang perencana menjamin kelayakan ruang dan fasilitas fasilitas lain bagi rakyat rakyat kecil menengah kebawah. Seperti menjamin adanya trotoar yang layak yang dapat digunakan sebagai sarana bagi para pejalan kaki yang tidak memiliki fasilitas kendaraan pribadi, menciptakan ruang terbuka sebagai tempat rekreasi masyarakat dan tempat para pedagang kaki lima mencari nafkah bagi keluarga mereka. Tanggung jawab seperti itulah yang mestinya dipenuhi para perencana dengan baik. Menjamin akses bagi masyarakat kota terutama kaum menengah kebawah. Menyetir pasar dan menjamin rakyat kecil menerima haknya. Begitujuga difabel. Para penderita cacat fisik maupun mental yang jumlahnya tidak sedikit dalam masyarakat Indonesia dan hingga saat ini masih mendapatkan perbedaan perlakuan baik dari segi ekonomi, politik, maupun bagaiman mereka bermsyarakat. Keminderan dan rasa rendah diri yang umumnya dirasakan difabel hingga mengclaim tuhan tidak adil maupun tidak mempercayai tuhan dan sebagainya saalh satunya adalah tanggung jawab dari para arsitek dan perencana yang ‘membedakan’ mereka dengan ‘orang normal’ hingga masyarakat menjadi terbiasa mentak normalkan’ mereka. Beberapa arsitek maupun perencana beranggapan bahwa memffasilitasi difabel berarti membuang dana yang besar demi segelintir orang yang seharusnya menyesuaikan diri dengan fasilitas umum yang ada. Akan tetapi hal ini pada dasarnya hanya menambah ketidaknormalan mereka saja dimana mereka dipandang sebagai sebagai seorang yang berbeda dari orang lain. Dimana hak mereka? Seandainya standar kenormalan adalah seperti mereka dan fasilitas umum yang ada adalah fasilitas untuk mereka apa yang harus dilakukan orang orang normal? Cacat itu relative. Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Sebagai ilustrasi orang orang normal saat ini mungkin akan menjadi abnormal dimasa datang ditengah anak anak indigo yang kebanyakan mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Ketika hal itu terjadi masihkah dunia memandang kenormalan saat ini menjadi tetap normal dimasa datang atau memandang orang normal sebagai kecacatan intelektual.
III. 6 Solusi
                Beberapa hal yang harus dilakukan menyangkut aksesibilitas difabel Jogja khususnya dan Indonesia pada umumnya saat ini adalah merubah persepsi dan cara pandang kita mengenai kecacatan yang merupakan sesuatu yang normal dan lumrah yang bisa menghinggapi siapa saja bukanlah hasil bermain main dengan ilmu sihir ataupun kutukan setan. Hingga hal ini diharapkan dapat membangkitkan kepedulian para perencana pembangunan dimasa akan datang bahwa difabel mempunyai hak yang sama dengan warga Negara lain dalam mendapatkan fasilitas umum hingga bisa menjalankan aktivitasnya layaknya masyarakat lain. Bukankah dengan fasilitas nyaman difabel juga akan tercipta fasilitas yang nyaman bagi orang normal?
                Sebagai bentuk pertanggung jawaban perencana dalam menciptakan ruang gerak yang nyaman bagi segenap lapisan masyarakat, mestinya di tempat-tempat umum dilengkapi dengan fasilitas ramah difabel, dan meningkatkan pemerataan penyediaan sarana difabel hingga ke luar Jawa serta peningkatan penggunaan teknologi dalam fasilitas tersebut.

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
1.       Difabel masih dianggap merupakan kesalahan di Indonesia.
2.       Masih terdapat perbedaan perlakuan terhadap difabel.
3.       Belum terpenuhinya hak aksesibilitas yang dijanjikan pemerintah bagi difabel.
4.       Kurangnya kualitas dan kuantitas fasilitas umum ramah difabel.
5.       Belum meratanya persebaran fasilitas fasilitas ramah difabel.
6.       Masih kurangnya peranan difabel dalam berpolitik, perekonomian, dan social kemasyarakatan.
7.       Kurangnya penyuluhan dari pemerintah tentang pentingnya pendidikan bagi difabel.
8.       Ruang terbuka yang nyaman pada dasarnya baik untuk mengembangkan keaktifan difabel dalam bermasyarakat dan melatih kepekaan difabel terhadap lingkungan.
IV.2 Saran
1.       Perbanyak dan perbaiki kualitas sarana umum yang aksesibel bagi difabel!
2.       Masih dibutuhkannya sosialisasi dan perhatian pemerintah terhadap pentingnya pendidikan difabel kepada keluarga  penyandang cacat.
3.       Stop using ‘autis’ and ‘cacat’ on your joke!
4.       Masih perlunya persamaan perlakuan terhadap difabel dalam penyediaan lapangan kerja.
5.       Perlunya perhatian pemerintah terhadap hak suara difabel dalam pemilu agar jangan disalahgunakan.




DAFTAR PUSTAKA

http://www.pikiran-rakyat.com/node/113805
Sutisna, Marcella. Difabel dan Ruang Publik. 2010. Jakarta : Sketsa.







LAMPIRAN

Tabel I : Daftar SLB Daerah Istimewa Yogyakarta dan Persebarannya Berdasarkan Tipe
Nama SLB /Jenis Kecacatan                                                       Lokasi
A.      Tunanetra
 1.       SLB-A Yeketunis                                                              Yogyakarta
B.      Tunarungu
 1.       SLB Wiyata Dharma 1                                                  Sleman
 2.       SLB-B Karnamanohara                                                 Sleman
C1.  Tunagrahita Ringan
1.             SLB-C Dharma Rena Ring Putra                               Sleman
2.             SLB PGRI Sumbersari                                                Sleman
C2.   Tunagrahita Sedang
1.              SLB-C1 Panti Asih                                                          Sleman
C3.   Autis
1.             SLB Autisme”Dian Amanah”                                      Yogyakarta
2.             PPAK Samara Bunda                                                     Yogyakarta
3.             TK Khusus Autisme                                                        Bantul
4.             Sekolah lanjutan Autis”Fredofios”                          Sleman
5.             SLB Citra Mulya Mandiri                                              Sleman
6.             SLB Khusus Austik                                                          Sleman
            Campuran
 1.       SLB Pembina Tk. Prop.                                             Yogyakarta
3.         SLB-C Negeri 1 Yogyakarta                                    Yogyakarta
4.         SLB-C Dharma Rena Ring Putra II                         Yogyakarta
4.        SLB-C Negeri II                                                            Yogyakarta
 5.       SLB-E Prayuwana                                                     Yogyakarta
 6.       SLB Helen Keller Indonesia                                    Yogyakarta
 7.       SLB Tunas Bakti Pleret                                              Bantul
 8.       SLB-BC Marsudi Putra                                               Bantul
 9.       SLB Negri 4 Yogyakarta                                            Bantul
 10.     SLB Negeri 3 Yogyakarta                                                         Bantul
 11.     SLB PGRI Trimulyo                                                                   Bantul
12.       SLB Marsudi Putra II                                                                 Bantul
 13.     SLB-B-C Marsudi Putra III                                                      Bantul
 14.     SLB Bangun Putra                                                                       Bantul
15.       SLB BC Pamardi Putra                                                              Bantul
 16.     SLB Mardi Mulyo Kretek                                                         Bantul
 17.     SLB Widya Mulya                                                                       Bantul
 18.     SLB BC Bina Siwi                                                                         Bantul
 19.     SLB B-C Tunas Kasih                                                                  Bantul
 20.     SLB Bhakti Wiyata                                                                     Kulonprogo
 21.     SLB-C Rela Bhakti II                                                                   Kulonprogo
 22.     SLB PGRI Nanggulan                                                                 Kulonprogo
 23.     SLB Ksih Ibu                                                                                  Kulonprogo
 24.     SLB Muhammadiyah Dekso                                                   Kulonprogo
 25.     SLB PGRI Sentolo                                                                        Kulonprogo
26.      SDLB Negeri Pengasih                                                              Kulonprogo
 27.     SLB Dharma Putra                                                                     Gunung Kidul
 28.     SLB Bakti Putra                                                                           Karangmojo
 29.     SLB C Yuwana Putra                                                                  Gunung Kidul
 30.     SDLB Bogor                                                                                   Gunung Kidul
 31.     SLB B-C Yapenas                                                                         Sleman
 32.     SLB Rela Bhakti I Gamping                                                     Sleman
 33.     SLB PGRI Minggir                                                                       Sleman
 34.     SLB-C Wiyata Dharma IV                                                        Sleman
 35.     SLB Bhakti Kencana Berbah                                                   Sleman
 36.     SLB Bhakti Pratiwi                                                                     Sleman
 37.     SLB Ganda Daya Ananda                                                          Sleman
 38.     SLB Tunas Kasih                                                                          Sleman
 39.     SLB Marganingsih                                                                       Sleman
 40.     SLB Tuna Sejahtera                                                                    Sleman
 41.     SLB Bakti Siwi                                                                              Sleman

 42.     SLB-C Wiyata Dharma II                                                            Sleman
 43.     SLB BC Wiyata Dharma III                                                        Sleman
 44.     SLB Panca Bakti Pakem                                                             Sleman
 45.     SLB Damayanti                                                                             Sleman




1 komentar: