Kamis, Februari 16, 2012

Rantai yang Hilang

Masih ingat pasti kan segitiga ekonomi – sosial – lingkungan? Sebuah games seru di HDB menohok banget ketika si user diminta untuk membentuk komposisi yang ‘ideal’ antara keberpihakan kepada sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari 100 % lahan berapa persen idealnya lahan diperuntukan untuk fungsi konservasi lingkungan, kawasan bisnis, dan public space. Cukup lama berkutat disana pada akhirnya saya menyerah dan memutuskan memilih sebuah option di pojok kiri atas yang tulisannya. “Look the answer”. Dan taraaaaaaahhh.. Ternyata jawabannya ‘CUMA’ membagi 100% lahan sama rata kedalam tiga bagian. Means tiga-tiganya sama-sama kita butuhin. Dan gak ada yang mendominasi satu sama lain. Makjleb banget sama paham yang biasa kita anut yang bilang “Gimana bisa merhatiin lingkungan kalo rakyat aja gabisa makan.” Paham ini yang selalu menghalalkan kita memprioritaskan ekonomi kedalam pembangunan. Ujung-ujungnya pembangunan yang ada kapitalis banget. Kaya Jakarta. Mall dimana-mana. Dan see? Kenyataannya pola pembangunan yang seperti itu TIDAK PERNAH mengeluarkan kita dari kemiskinan.

Lantas apa iya ketiga mata rantai itu benar-benar udah mulai diperhatiin keseimbangannya? Kita seringkali mengalami dilemma besar menanggapi persoalan ketiga mata rantai tadi dan itu SELALU galau ekonomi-lingkungan. Ketika kita nyoba merhatiin lingkungan maka kita kehilangan kesempatan untuk berkembang di sektor ekonomi. Ketika kita nyoba menggali potensi ekonomi, kita seringkali mengabaikan nilai-nilai lingkungan. Tapi pernahkah kita nyoba memerhatikan aspek sosial sebesar perhatian kita dengan kedua aspek lain? Oke kalo kamu cowo, sejauh ini kamu belom bakat poligami! Belom ADIL!!

Banyak orang yang gak-rela dibilangin belom merhatiin aspek sosial. Padahal toh dilapangan aspek sosial paling banter dibahas habis-habisan cuma kalo ngembangin daerah wisata. Itupun karna paham ‘budaya adalah sesuatu yang paling menjual untuk kegiatan pariwisata’. Lantas bagaimana dengan kawasan lain yang bukan diperuntukan untuk kegiatan wisata?

Agak gak adil gak sih kesenjangan ‘perhatian’ kita sama tiga aspek tadi? Well konon di perusahaan tempat saya Kerja Praktek, kita punya SOP (Standart Operating Procedures) dimana setiap project udah punya urutan prosedur yang harus dilewati. Di tiap project kita punya AMDAL buat nganalisis dampak lingkungan. Bentuk perhatian kita sama lingkungan. Trus juga kita punya Feasibility Study buat nganalisis apakah satu project udah layak buat dijalanin dari sisi ekonomi. Udah bawa untung apa belom? Ketika satu project gak feasible kita berenti. Gak jalan. Bentuk perhatian kita sama aspek ekonomi. Tapi toh kita gak punya standar metode analisis sosial tertentu yang ngasih gambaran apakah project kita udah layak? Udah baik buat kondisi sosial masyarakat? Kita gak punya itu. Padahal FYI aja perusahaan ini bergerak di kepariwisataan dengan target pasar high end. Bahkan interaksi perusahaan ini dengan desa penyangga yang masuk dalam kategori sosial kependudukan stakeholders aja masih jadi masalah utama. Antara perusahaan sama masyarakat itu belom bersinergi untuk tujuan yang saling nguntungin alias simbiosis mutualisme. Ini yang sangat disayangkan. Ketika perusahaan bisa bikin wilayah masyarakat berkembang, masyarakat masih aja ngerusak fasilitas pariwisata, nyoret-nyoret signage, bikin kebon di lapangan golf, dan lain-lain. Padahal ketika mereka nyoba bersinergi hasilnya PASTI bakal bagus banget!

Yak tawaran aja sih buat mahasiswa yang bakal skripsi. Tolong silakan nyari metoda yang tepat buat ngukur kelayakan proyek dari sisi sosial yaaa. Standar bentuk dan urutan CSR yang tepat buat dipraktekin. *sumpah ini berasa siapa banget deh saya :D* Konon tahun 80-an HDB (Housing Development Board)-nya Singapur udah ngonsep apartemen yang peduli sisi sosial masyarakatnya. Udah usaha ngebangun wadah buat memperbesar interaksi penduduknya. Baru-baru ini aja ngonsep hunian yang ramah lingkungan juga. Nah kita sekarang kenapa gak nyoba mengejar ketertinggalan kita sekaligus tanpa mengabaikan yang lainnya? IndONEsia bisa kok. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar