Senin, Oktober 14, 2013

ANDAI SAYA JADI WALIKOTA

Semua orang pernah berandai andai jadi penguasa. 
Untuk aku cukuplah sebatas walikota. 
Bukan. Bukan karna tak berani dan tak punya asa. 
Cuma... entahlah. Mungkin karna cinta. :)

Selain karna kecintaan dengan kota, menurut saya, yang namanya proses pembangunan akan lebih terlihat hasilnya dengan skala ruang yang lebih tepat. Misal, dibanding presiden atau gubernur (meski punya kekuasaan yang lebih besar) keberhasilan pembangunan lebih tepat dirujuk jadi keberhasilan bupati atau walikota. Karena makin tinggi jabatan kepala daerah, fungsinya makin mendekati kontrol dan pembuat kebijakan. Bukan yang secara langsung mengimplementasikan dan mengintervensi lapangan. Sederhananya, kepala daerah setara bupati dan walikota adalah ujung tombak proses pembangunan karena mereka 'punya wilayah' yang bisa mereka utak atik secara fisik tanpa perlu 'ijin dan kesepakatan' pihak lain. Dan bentuk intervensi pembangunan oleh walikota dan bupati juga bukan cuma sekedar mengatur 'via kebijakan' yang entah kemudian dilaksanakan atau tidak.

Nah kalaulah semua orang pernah berandai andai jadi penguasa, mungkin belum semua menuliskannya. Nah ini sekilas versi saya kalau saya jadi walikota padang. Padang yaa.

Ada satu harapan terbesar saya untuk Kota Padang. Sebagai ibukota Sumatera Barat, tanahnya masyarakat Minangkabau, saya ingin Padang menjadi pusat pengembangan seni dan budaya di Indonesia bagian barat. Bukan melulu Jogja, Solo, dan Bali seperti yang selama ini dikenal. Kenapa seni dan budaya? Karena Minangkabau merupakan salah satu suku 'besar' dan dikenal punya kekhasan budaya. Kalau belum percaya silakan survei kecil-kecilan. Tanya teman-teman non Minangkabau 'coba sebutkan 5 suku paling populer di indonesia, 5 tujuan utama kuliner indonesia, 5 bahasa daerah dan 5 rumah adat paling populer di indonesia.' NAH!!

Sebagai salah satu suku besar di Indonesia, sudah sepantasnya kita mempertahankan 'citra/brand' yang secara alami sudah melekat di benak masyarakat Indonesia itu. Kita toh berkewajiban mengelola kekayaan budaya, bahasa, kuliner, dan arsitektur Minangkabau yang mau tidak mau sudah terlanjur terkenal baik untuk tujuan ekonomi maupun pelestarian budaya sebagai salah satu seni murni.

Dan untuk mencapai misi tersebut sudah sepantasnya kita menarik lagi seniman-seniman Minangkabau yang saat ini menjamur meramaikan Jogja, berkarir, dan dikenal sebagai salah satu seniman terbaik Indonesia. Yang lari merantau karena belum mendapatkan penghidupan di tanah sendiri. Sampaikan visi ke mereka, tarik mereka kembali, ciptakan iklim bisnis yang sesuai, gaji mereka perbulannya, dan minta merea mengajar untuk sama sama menyebarkan visi pengembangan budaya kepada lebih banyak orang. Untuk menebar lagi virus kecintaan kepada seniman, budayawan, dan creative sosiopreneur berbasis budaya. Kenapa kita perlu dorong kegiatan seni dan budaya dalam bentuk ekonomi kreatif ini? Bukan apa-apa revolusi industri sudah lewat, era reformasi juga sudah kita rasakan, dan sekarang kita sedang mempersiapkan diri untuk trend ekonomi berikutnya dimana perekonomian sudah bukan lagi dikuasai pihak yang menguasai industri atau informasi melainkan kreativitas! Trend perekonomian dimana 'manusia' adalah sumber daya ekonomi tertinggi. Karena sampai kapanpun kreativitas tak akan pernah jenuh dan selalu diminati. Dan kreativitas itu sendiri muncul sebagai dampak dan respon manusia terhadap budaya yang berkembang baik tradisional maupun modern. Dan tambahannya, ekonomi kreatif juga sangat mendukung perkembangan pariwisata yang kita semua tau cukup potensial di Sumatera Barat.

Dan andai saya jadi walikota saat ingin membuat dua BUMN baru. Pertama fokus ke ke sektor wisata berbasis kreativitas dan kedua pendidikan kreatif. Saya ingin buat 'creative academy' atau apalah namanya yang punya jurusan dari 15 subsektor ekonomi kreatif. Yang akan mendidik, memperkenalkan kembali, dan membesarkan koki, ilustratir, musisi, pelukis, pemahat, dan lain-lain untuk bertahan dengan kreativitas mereka dan bisa menghidupi keluarga dengan sejahtera.

Andai saya jadi walikota, saya akan perbanyak dan perbaiki area rekreasi. Karena kreativitas muncul ketika kita makan yang cukup, tidur yang cukup, dan bermain yang banyak. Karena einstein menemukan gravitasi ditengah kebun apel saat bersantai. Bukan di lab fisika yang penuh peralatan setelah begadang berhari hari.

Andai saya jadi walikota padang, saya ingin seluruh area rekreasi dipasangi wifi. Semua orang bisa akses dunia luar sesuka hari. Pernah dengar dan seketika tertampar dengan twit seseorang waktu itu yang bilang "kalau lo punya koneksi internet di rumah dan masih bego aja, gak usahlah nyalahin sistem pendidikan Indonesia!". Dan iya. itu ekstra benar.

Andai saya jadi walikota, ada banyak kebijakan Bapak Ridwan Kamil yang ingin saya jiplak. Contohnya masangin wifi di setiap masjid biar fungsi masjid sebagai pusat pendidikan dan kegiatan masyarakat bisa kembali lagi di Minangkabau. Pengen juga bikin area kuliner keren di sekitaran masjid. Biar yang pada nongkrong ngegaul bisa tetep ingat ke masjid dan update soal kegiatan-kegiatan yang diadakan di masjid. Gak harus aktivitas keagamaan juga. Masjid yang selama ini jadi pelengkap di pusat-pusat budaya macam taman budaya harus diubah menjadi bangunan inti sentra berkembangnya budaya. Mungkin masjid raya sumatera barat nanti bisa mewadahi cita-cita ini. Asal nanti jangan dipager biar lebih dekat dengan masyarakat. Juga pengen jiplak kebijakan beliau soal anak jalanan, angkot day, desa wisata kreatif tematik, dan lain-lain. Yah semoga lebih banyak pemimpin yang kreatif seperti beliau. Jadi pemimpin lain tinggal jiplak sana sini aja. Gitu doang juga udah bakal bagus Indonesia.

Jadi hari gini masih psimis aja sama masa depan Indonesia? Gih sana ke Afrika!!

Minggu, Desember 30, 2012

Jangan Kritik Sebelum Tau Masalah Industri Perfilman Indonesia!

Kita seringkali ngutukin industri perfilman Indonesia. Bilang gak mutu dan ini itu. Padahal, banyak masalah yang bikin industri film Indonesia seperti ini. Nah, jangan ngutukin dulu sebelum bener-bener tau masalahnya ya. Berikut beberapa problematika industri perfilman Indonesia menurut buku Dampak Kekuatan Budaya Indonesia dalam Industri Kreatif.

SISI PRODUKSI

Wadah Pengembangan Bakat Bagi Industri Kreatif
Indonesia bukan kekurangan individu kreatif melainkan kekurangan wadah untuk memfasilitasi individu kreatif yang ada. Hingga saat ini hanya 1 sekolah perfilman yang eksis di Indonesia. Berbeda dengan Korea yang punya lebih dari 100 sekolah film yang jadi lokasi dilaksanakannya pendidikan produksi film. Nah wajar kan kalau film Korea bahkan sekarang banyak yang dikenal di kancah Internasional.

Persepsi Masyarakat terhadap Dunia Film
Persepsi bahwa dokter dan dosen merupakan dua profesi yang menjanjikan dan mendatangkan banyak uang masih saja menjadi momok bangi individu kreatif (dan orang tua) untuk mendalami dunia perfilman (dan budaya). Kurangnya jaminan penghidupan membuat banyak orang yang menjadikan produksi film sebagai hobi bukan pekerjaan. Bahkan banyak diantara mereka yang melupakan hobi ini dan beralih mengerjakan hal-hal lain yang membosankan.

Pajak Pembuatan Film
Yang ini jelas. Dukungan pemerintah terhadap industri film masih minim. Bahkan kasil pajak yang ditarik hingga saat ini belum digunakan untuk kepentingan memanjukan industri film Indonesia.

SISI PEMASARAN

Monopoli Pasar Film Indonesia
Monopoli yang dilakukan 21 dan XXI dalam pemasaran film Indonesia ternyata tak membawa dampak positif bagi industri film tanah air. Pasalnya XXI dibangun untuk pasar film kelas A (hingga saat ini masih identik dengan hollywood) dan 21 dibangun untuk film kelas B, C, dan D (tidak terbatas untuk film hollywood). Jadi pengunjung yang datang ke XXI sudah pasti nonton hollywood dan yang datang ke 21 belum pasti nonton film lokal. Sementara keberadaan 21 dan XXI ini membunuh 104 bioskop lain tahun ini. Hal ini yang membuat pasar film lokal menjadi terbatas dan kalah dengan film luar negeri.

Mahalnya Biaya Pembangunan Bioskop
Besarnya biaya pembangunan bioskop seolah mendukung 21 dan XXI dalam memonopoli pasar film Indonesia. Sulit untuk menciptakan bioskop lain dengan kualitas yang sama dan punya tempat yang sama di hati penonton. Apalagi pemutaran film yang dewasa ini selalu mendahulukan 21 dan XXI membuat pasar lain film Indonesia menjadi mati. Belum lagi teknologi penggandaan film yang sangat mahal. Menjadi permasalahan yang kompleks bagi industri perfilman Indonesia.

Mahalnya biaya produksi, minimnya perhatian pemerintah terhadap industri film, dan sulitnya kondisi pasar film Indonesia membuat pihak yang berinvestasi di bidang perfilman lebih berorientasi pada upaya untuk memperbanyak keuntungan. kemungkinan untuk bersaing dengan genre film sejenis hollywood namun dengan kualitas yang berbeda (karena dana tidak sebesar anggaran film luar) tentu bukan merupakan opsi yang baik. Akhirnya muncul film yang asal asalan. Film horror yang cuma mempertontonkan aurat wanita menjadi salah satu opsi meningkatkan jumlah penonton.

DOKUMENTASI FILM SEBAGAI ASET BUDAYA DAN SEJARAH
Sebagai media pembelajaran sejarah dan perkembangan budaya Indonesia, dokumentasi terhadap film lokal yang ada masih minim dilakukan. Selain karean biaya yang mahal, perhatian dari pihak-pihak terkait masih minim.

Nah, jadi ada banyak bentuk dukungan yang bisa kita lakukan dalam mendukung pasar film tanah air. Seperti nonton film dalam negeri, apresiasi, dan dokumentasi. Selain itu, butuh dukungan juga dari pemerintah dan pihak lain terkait. Yakin kalau bersinergi tidak ada masalah yang tidak bisa ditaklukan. Jangan lupa hari ini cinta produk Indonesia ya. 

Sumber: Dampak Kekuatan Budaya Indonesia dalam Industri Kreatif oleh Ida Cynthia S dan Dedi Alfiandri.



Sabtu, Desember 22, 2012

Alternatif Solusi Permasalahan Konversi Hutan di Indonesia

Yogyakarta, 18 Desember 2012

Banyak fakta dan angka ditampilkan seorang teman di kelas Etika Perencanaan terkait penurunan kuantitas hutan di Indonesia sejak 1960. Kira-kira menurut beberapa sumber, alasan berkurangnya hutan di Indonesia secara drastis adalah konversi lahan untuk pengembangan pertanian, pemanenan hasil hutan, dan pembukaan hutan untuk kepentingan program transmigrasi. Unik memang menurut Rendy Adriyan Diningrat bahwa konversi hutan merupakan konsekuensi yang harus diterima sebuah negara berkembang (yang notabene belum memiliki tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang baik) dalam peningkatan ekonomi lokal. Wajar memang. Tapi bukankah pengrusakan hutan (apalagi 'peng-hilang-an') merupakan sesuatu yang sulit untuk dipulihkan kembali? Jangankan untuk menghutankan kembali kawasan terbangun, banyak kasus ditemukan dimana pembangunan taman dan ruang publik yang juga untuk masyarakat pun masih sulit diwujudkan.

Terlepas dari wajar atau tidak wajarnya pemicu terjadinya konversi hutan di Indonesia perlu dirumuskan beberapa solusi yang dianggap mampu mengatasi permasalahan ini yakni sebagai berikut:

Penyusunan Zonasi dan Penetapan Hutan Abadi

Penyusunan zonasi menjadi penting untuk mempertahankan porsi hutan lindung yang telah ada. Bukan seperti saat ini yang banyak dilakukan upaya penghijauan tapi minim upaya 'penjagaan' terhadap hutan yang telah ada. Aturan zonasi ini harus mempertimbangkan luasan hutan mana yang menjadi hutan lindung dan hutan mana yang kemudian dijadikan hutan produksi. Selain itu, diatur pula mekanisme penebangan hutan produksi apakah perlu menggunakan mekanisme tebang pilih tanam atau tidak. Hal ini yang kemudian diwujutkan melalui instrumen perijinan oleh birokrat terkait.

CSR dan Carbon Trading

Mekanisme ini berusaha melibatkan faktor swasta utamanya industri besar yang banyak menyumbang emisi dan kerusakan bagi lingkungan. Caranya dengan pemanfaatan Corporate Social Responsibility untuk kepentingan penghijauan. Jika perlu dengan carbon trading yakni pembayaran kerusakan lingkungan sesuai dengan tingkat emisi yang dihasilkan. Bentuk 'pembayaran' emisi ini adalah pembelian hutan dari masyarakat lokal.

Penguatan Ekonomi Lokal

Klasik sebenarnya ketika alasan orang menebang hutan adalah faktor ekonomi kenapa tidak kita dorong perekonomian mereka melalui sektor industri non hasil hutan? Percuma bicara mengenai sistem penegakan hukum ketika perut perut masih kelaparan. Siapa peduli? Namun sulit memang merubah orang-orang yang sudah biasa bekerja di dunia perkayuan untuk bertolak melakoni industri lain. Orang orang yang mengerti seluk beluk dunia perkayuan akan sulit jika diminta melakono hal lain. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap. Jika biasanya di satu desa 100 orang menebang hutan diarahkan menjadi 50 penebang dan 50 pembuat meubel. Minimal mampu menghambat laju penebangan pohon, menambah value added produk, dan mampu memberi waktu regenerasi hutan. Untuk itu harus sengaja disediakan hutan produksi memang. Kendalanya adalah ketika industri meubel malah menjadi sesuatu yang 'menggiurkan' dan menarik pelaku dari sektor lain.

Memperkuat Law Enforcement

Penguatan law enforcement sejatinya merupakan hal klasik dalam mempertahankan hutan Indonesia. Sebut saja dalam kasus illegal logging, pelaku sendiri biasanya bukan orang yang tidak mengerti hukum, melainkan 'orang-orang yang tak tersentuh hukum'. Pengalaman Kuliah Kerja Nyata di Sumatera Barat yang dekat dengan kegiatan illegal logging membuka mata bahwa si pelaku sebenarnya adalah oran-orang yang punya kuasa untuk tidak disentuh hukum karna memang penebangan hutan bukan sesuatu yang bisa ditutup tutupi. Jadi percuma secara teoritis membangun sistem yang lebih kuat ketika sasaran dari hukum itu sendiri adalah orang yang tak terjamah. Untuk itu, law enforcement bukan solusi yang bisa diwujudkan dalam jangka waktu pendek.

Catatan: Tulisan ini merupakan hasil diskusi Kelompok I pada Kuliah Etika Perencanaan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, UGM, angkatan 2009.

Taman Penyembuhan Hugh Falls : Bentuk Antroposentrisme Berwawasan Lingkungan


Kecenderungan pembangunan dengan orientasi pertumbuhan ekonomi membuat permasalahan lingkungan seringkali diabaikan oleh tokoh-tokoh pembangunan, utamanya di negara-negara berkembang. Ditambah lagi anggapan bahwa ada trade off berupa keuntungan ekonomi yang harus dikorbankan untuk sebuah keputusan pro-lingkungan, membuat kebijakan-kebijakan yang cenderung peduli lingkungan makin sulit ditemukan. Hal ini merupakan akibat berkembangnya paham antroposentris, yakni pengambilan kebijakan didasarkan pada kepentingan manusia yang parahnya sering kali diidentikan dengan keuntungan ekonomi semata. Paham ini yang dewasa ini ditentang oleh penganut deep ecology dan ecosentrisme dimana ekosistem dianggap merupakan aspek penting untuk menjaga keseimbangan kehidupan. Lantas benarkah orientasi terhadap kepentingan manusia berarti menghalalkan pengrusakan terhadap lingkungan? Kasus berikut membuktikan bahwa antroposentris harusnya tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi semata melainkan junga mempertimbangkan kebutuhan manusia akan kelestarian lingkungan hidup.

Taman Penyembuhan Hugh Falls, Rumah Sakit Lake Forest

Taman Hugh Falls merupakan sebuah taman penyembuhan yang di bangun di dalam komplek rumah sakit Lake Forest Illinois, United States. Taman ini dibangun melalui sebuah community project yang diprakarsai oleh The Lake Forest Junior Garden Club bekerja sama dengan pihak Mariani Landscape dan Lake Forest Hospital. Taman ini didisain cocok untuk kegiatansunbathing dan ditujukan untuk penyembuhan badan, pikiran, dan membangkitkan semangat pasien dengan menyediakan taman yang sepi, tenang, dan alami, serta kaya udara segar. Kedepannya, direncanakan pembangunan perpustakaan umum untuk menyediakan bahan bacaan di taman tersebut setelah proyek pembuatan taman ini rampung pada Juni 2011 lalu.

Permasalahan Etika Lingkungan dan Etika Guna Lahan

Tak seperti kebanyakan proyek pembangunan yang menganut antroposentrisme, taman ini dibangun dengan memerhatikan keseimbangan lingkungan sebagai salah satu bentuk kebutuhan manusia. Bagaimana guna lahan rumah sakit didisain sedemikian rupa untuk kepentingan penyembuhan dan kesehatan, sekaligus sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap lingkungan menjadikan taman ini sangat unik. Dengan kata lain, taman ini merupakan sebuah bukti bahwa tak hanya keuntungan ekonomi yang harusnya diprioritaskan sebagai orientasi utama pembangunan, melainkan juga isu-isu lingkungan yang ikut menyumbang banyak keuntungan yang tidak dinilai dengan uang.

Referensi:


Selasa, Oktober 02, 2012

etika Kapitalisme Membawa Berkah


Social Economic crash bukan hal yang baru memang. Semakin lama kita mengkaji semakin banyak pula kita akan menemukan benturan-benturan antara dua aspek ini. Salah satunya dalam hal pengembangan pariwisata. Dari sisi ekonomi dan dengan sudut pandang sosialis, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat ibarat ‘Ratu Adil’ yang bawa kemakmuran bagi masyarakat kelas menengah kebawah dalam sebuah kawasan wisata. Konsep ini selalu menjadi ‘primadona’ yang memang marak digaungkan oleh aktivis pariwisata dan sudah mulai diterapkan di beberapa kawasan yang memang diperuntukan bagi pengembangan pariwisata.  Sebaliknya, resort selalu menjadi satu pihak yang dianggap memperkaya yang kaya dan ‘merugikan’ masyarakat. Namun benarkah demikian?

Banyak sisi positif dari pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang diutarakan para ahli. Diantaranya adalah mempu meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat pula menjadi sebuah upaya menjaga kelestarian budaya lokal. Pandangan ini yang seringkali melupakan aspek lokalitas itu sendiri di kalangan masyarakat. Benarkah desa wisata lazimnya mampu melestarikan budaya lokal lebih dari sekedar menjaga tarian atau kerajinan lokal? Benarkah pengaruh yang didapat masyarakat desa wisata dari luar jauh lebih kecil dibanding kelestarian budaya lokal sendiri? Well, hal ini seringkali tidak berjalan dengan baik kan? Sebut saja night club di Bali yang dewasa ini cukup banyak diramaikan penduduk lokal. Belum lagi cara berpakaian dan pola pergaulan muda mudi yang cukup bebas. Senjang sekali  dengan pola hidup masyarakat yang sama sekali tak terjamah pariwisata di pulau ini. Sederhananya, pengembangan desa wisata dengan konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat belum mampu menjaga nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat.

Sebaliknya, resort dibangun dengan beragam fasilitas yang memungkinkan pengunjung untuk mendapatkan fasilitas hiburan tanpa harus jauh keluar dari kawasan resort itu sendiri. Beragam alternatif hiburan membuat pengunjung cukup puas untuk berada hanya didalam resort. Apalagi pengelolaan resort yang sepenuhnya difasilitasi oleh pengembang, hal ini membuat kemungkinan gesekan budaya antara masyarakat lokal dengan pengembang menjadi lebih kecil. Kesimpulannya, pembangunan resort lebih mampu menjaga kelestarian dan keaslian budaya masyarakat. Terdengar sangat kapitalis bukan?

Lalu bukankah sudah sifat dasar manusia untuk selalu mengupayakan kesempurnaan? Bagaimana dengan jika kita lihat secara keseluruhan tak hanya dari perspektif budaya melainkan juga perekonomian masyarakat? Entahlah, yang jelas pembangunan berbasis masyarakat selalu punya nilai lebih. Tentu saja dengan penyiapan masyarakat lokal terlebih dahulu.